Jumat, 28 November 2014

MUSLIM TRANFORMATIF



MUSLIM TRANFORMATIF

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Tafsir Aqidah
Dosen Pengampu : Nur Said, M.A., M.Ag





Disusun Oleh :

Zulfar Rohman                        : 312024
M. Khoirus Sholihin                : 312025




SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN USHULUDDIN / TAFSIF HADITS
2013
MUSLIM TRANFORMATIF

I.             Pendahuluan

                     Agama kita dewasa ini sangat membutuhkan pembaruan yang tidak hanya berangkat dari spirit emosional saja, tetapi pembaruan yang sistematis dengan menggunakan sarana yang tepat, yaitu pendidikan agama. Kita harus mendidik manusia tentang nilai-nilai aqidah yang dapat melahirkan suatu konsep pemikiran politik, ekonomi, dan budaya yang mampu menerapkan hukum-hukum agama.
                     Tapi kemudian, ketika kita hendak melakukan pembaruan, dalam hal ini pembaruan pemikiran agama, kita sering dijegal dengan pertanyaan : apakah pemikiran agama dapat diperbarui?, bukankah agama islam merupakan petunjuk azali yang kekal dan tidak mengalami perubahan (baku)?. Memang benar demikian, jika kita hanya melihat islam dari segi esensinya. Karena bagaimanapun, pemikiran islam itu adalah aktifitas kaum muslim dalam memahami dan mempelajari agama serta merupakan proses manusiawi yang dapat mengalami perubahan sebagaimana proses lainya, seperti ketuaan, kerusakan, kelahiran, dan pembaruan.


II.          Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan Islam Transformatif ?
2.      Mengapa harus ada transformasi dalam pemikiran islam ?
3.      Bagaimana penjelasan mengenai Tauhid Sosial ?
4.      Sebutkan contoh tafsir ayat transformatif ?

III.      Pembahasan

1.      Transformasi Pemikiran Islam

Memang benar bahwa agama Islam merupakan petunjuk yang bersifat azali dan kekal serta tidak mengalami perubahan (baku). Tetapi perlu kita ingat, bahwa pemikiran islam itu sesungguhnya adalah interaksi antara nalar kaum muslim dan hukum-hukum agama yang azali dan kekal tersebut. Interaksi tersebut sudah barang tentu bergantung dengan kualitas dan kuantitas intelelektual dan pengalaman zamanya. Jika pemikiran kaum muslim itu luas, maka cakrawala pengetahuannya dalam menginterpretasikan ajaran agama islam pun luas. Begitu sebaliknya. Selain itu, kondisi zaman yang tidak stagnan, dengan berbagai tantangan yang berbeda-beda juga berpengaruh dalam pemikiran islam tersebut.[1]
Jika kita perhatikan, dalam menghadapi zaman yang serba modern dengan berbagai tantangan yang sangat kompleks seperti sekarang ini, pemikiran islam seolah mengalami gegar. Menurut dr. Hasan al-Turabi, hal tersebut dikarenakan tiga hal, Pertama, pemikiran Islam lambat laun tercerabut dari prinsip-prinsip agama (Ushul al-din) yang kekal. Kedua, pemikiran Islam terpisah dari ilmu pengetahuan rasional (al-ma’arif al-aqliyyah). Ketiga, pemikiran Islam tidak mampu menyesuaikan diri dengan realitas kehidupan manusia dan hanya menjadi pemikiran semat.

a.      Tercabut dari akar
Kelemahan pertama pemikiran Islam adalah tercerabut dari prinsip-prinsip agama (al-ushul al-syar’iyyah ). Ciri utama agama adalah bahwa ia bersumber dari wahyu dan bukan produk manusia. Bencana terbesar dalam agama terjadi ketika ia tertutup oleh produk manusia dan ketika manusia menutup diri dari dasar-dasar wahyu.
Para ulama mengkaji dasar-dasar wahyu yang kekal ini guna memberikan penjelasan kepada manusia dan menyesuaikannya dengan praktik di zaman dan tempat tertentu. Berbagai penjelasan dan praktik agam di zaman dan tempat itu berbaur dengan agama lantaran disimpulkan dari agama dan berinteraksin dengan dasar-dasar agama. Kemudian muncul suatu masa ketika para pemikir mengalami degradasi dalam menjelaskan agama sehingga praktik keagamaan terputus dari sumber aslinya.
Perhatikanlah para nabi. mereka semua mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah semata. Berulang-ulang Al-Quran mengungkap ajakan: Beribadahlah kepada Allah dan janganlah engkau menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Setiap nabi menghadapi tantangan zamannya dan kemudian mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah dengan mengatasi tantangan itu. Di zaman Nabi Ibrahim manusia beribadah kepada berhala, bulan, dan matahari. Maka, dakwah Nabi Ibrahim pun melampaui fenomena-fenomena alam yang menyebabkan manusia tunduk dan menyembahnya. Disini Nabi Ibrahim mengajak manusia untuk meningkatkan diri dan menyingkap berbagai kelemahan alam agar mereka menyadari bahwa alam bukanlah sumber tertinggi yang berhak disembah. Dengan demikian, manusia dapat melampaui alam dan bisa sampai kepada Allah Swt.
Pemikiran Islam tidak boleh beku oleh sikap taklid dan salafisme atau salafiyah yang merasa puas dengan segala warisan pemikiran lama dan tidak mau merumuskan kebijakan serta petunjuk melalui perjalanan sejarah Islam tentang bagaimana kaum Muslim menerapkan pemikiran-pemikiran ini. Jika orang menyebut-nyebut pemikiran islam (mufakkir), mereka selalu membedakannya dari ahli fiqih Islam (faqih). Ahli fiqih Islam dianggap konsisten dengan prinsip-prinsip agama, sementara pemikir Islam digambarkan sebagai orang yang mengikuti hawa nafsu. Ketika kita mengkritik gambaran seperti ini. Yang sebenarnya kita kritik adalah orang-orang yang sama sekali tidak memperhatikan Al-Quran dan Sunah Nabi serta berpikir tentang Islam tanpa merujuknya. Pembaruan semestinya mengacu kepada prinsip-prinsip agama.

b.      Terpisah dari ilmu pengetahuan rasional
Berbagai bencana merundung fiqih Islam dan menjauhkannya dari prinsip-prinsip akidah dan syariah yang ada dalam Al-Quran dan sunah Nabi. Sebagaiana diketahui, pemikiran Islam adalah hasil dari interaksi antara nalar dan pengetahuan rasional kita dengan nilai-nilai agama yang azali. Jika nalar dan pengetahuan kita sempit, interaksi ini menjadi lemah dan fiqih Islam pun menjadi lemah.
Memang, Dario sisi sumber, ada perdedaan antara ilmu agama dan ilmu alam. Ilmu agama bersumber dari para rasul yang berdasarkan wahyu, sementara ilmu alam bersumber dari rasio yang berdasarkan observasi, kontemplasi, dan eksperimentasi.
Hokum-hukum alam sebenarnya merupakan sesuatu yang disepakati oleh manusia. Oleh karena itu, manusia tidak membutuhkan rasul untuk mengetahui ilmunya. Para rasul diutus untuk memutuskan sesuatun yang diperselisihkan oleh manusia. Ini dapat dipahami dari kasus yang terjadi di zaman Rasulullah Saw. Pada suatu hari, beliau memerintahkan orang-orang agar tak melakukan penyilangan kurma. Orng-orang mengira bahwa perintah ini termasuk dalam urusan agama yang harus mereka taati sehingga mereka pun melaksanakannya. Akibatnya, kurma mereka menghasilkan buah yang tidak baik. Lalu mereka mengadukannya kepada Rasulullah. Beliau pun menjawab,”kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian. Jika aku memerintahkanmu tentang persoalan agam, taatilah aku.” Disini, Rasullah Saw. Membatasi ilmu agama pada masa masalah hubungan manusia dengan Allah. Inilah prinsip agama yang kita kembalikan kepada Rasulullah, sementara persoalan menanam, membajak, dan memerangi hama adalah persoalan ilmu duniawi atau ilmu rasional yang kita kembalikan kepada pengalaman manusia, baik yang kafir maupun yang muslim, sesuai dengan kualitas ilmunya.
Ilmu agama dan ilmu alam harus saling menopang, sebab keduanya merupakan sarana ibadah kepada Allah. Ayat-ayat Al-Quran seperti: dan persiapkanlah untuk mereka kekuatan semampumu (QS Al-Anfal [8]: 60) dapat dipahami secara lebih luas. Makna kekuatan dalam ayat ini dapat diinterpretasikan seluas pengetahuan ilmu alam manusia. Dengan demikian, hokum-hukum syariah menjadi luas dan dapat diterapkan sesuai dengan realitas dewasa ini.

c.       Tidak Mampu Menyesuaikan Diri Dengan Realitas
Metodologi pemikiran agama yang benar adalah metodologi realitas. Oleh karena itu, Al-Quran tidak tersusun bab demi bab dan tidak diturunkan sekaligus tetapi secara bertahap sesuai dengan berbnagai peristiwa yang terjadi secara faktual. Ketika muncul suatu kasus dan orang segera mengambil berbagai macam sikap, lalu bersiap menerima keputusan Allah, turunlah hokum Allah secara tegas dan jelas. Demikian pula halnya dengan sunah Nabi. Rasulullah Saw. Jarang sekali berkhutbah twentang ajaran Islam secara teoretis dihadapan manusia. Akan tetapi, beliau mengajarkan kepada mereka tentang berbagai realitas, peristiwa, dan kasus.
Seorang khatib berkhutbah tanpa menghayati masalah yang menyentuh realitasnya. Ia mengajak bertakwa kepada Allah, tetapi tidak menjelaskan cara bertakwa kepada Allah dalam realitas yang dihadapi manusia dewasa ini. Seharusnya, sang khatib memusatkan khutbahnya pada persoalan cara bertakwa kepada Allah sesuai dengan tantangan realitas yang dihadapi pendengarnya. Jika ia berkhutbah di hadapan para pekerja, misalnya, hendaknya ia menjelaskan cara berinteraksi yang benar dengan kawan atau pemilik pabrik sebagai manifestasi ibadah kepada Allah. Dewasa ini, telah muncul sektor-sektor yang belum tercakup dalam fiqih islam, sehingga ketika para pengguasa negara meminta fatwa agama dari para ahli fiqih, mereka tidak memperoleh solusi yang memuaskan. Di sini tampak sekali  kelemahan fiqih islam.
Tugas kita paling besar dewasa ini bukan lagi berperang dan mencari legimitasi perang untuk membela Islam atau menyalahkan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Sebab, Akidah Islam sudah kukuh dan gerakannya pun sudah kuat sesudah berinteraksi dengan aliran-aliran lain. Namun, kewajiban kita sekarang adalah menjelaskan Islam sebagai pedoman teologis dan etis. Oleh karena itu, dalam bab ini saya akan  menjelaskan masalah krusial yang sedang kita hadapi, yakni pembaharuan  pemikiran Islam.
Mekanisme pembaharuan Islam sebelum Rasulullah Saw. Dilakukan dengan cara pengutusan para nabi yang dating silih berganti. Seorang nabi membenarkan nabi yang datang sebelumnya dan mengembangkan syariatnya agar tetap sesuai dengan perkembangan zaman. Namun, sesudah rasul terakhir di utus dan syariat Islam telah mapan, masalah pembaharuan diserahkan kepad para ulama dan seluruh kaum Muslim yang telah di angkat oleh Allah sebagai khalifah di muka bumi untuk menegakkan agama Islam. Akan tetapi, kemudian muncul pemikiran bahwa masalah pembaharuan agama hanya diserahkan kepada individu tertentu yang disebut sebagai Imam Mahdi jika benar ataun Dajjal jika berdusta. Sebenarnya, pembaharuan agama menjadi tanggung jawab seluruh kaum muslim karena mereka diangkat Allah sebagai khalifah di muka bumi sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran dan Hadits Nabi. Dalam Al-Quran, Allah berfirman: kemudian kami jadikan kalian pengganti-pengganti (mereka) diatas bumi sesuadah mereka agar kami memperhatikan bagaimana kalian berbuat (QS yunus [10]: 14). Kemudian, Rasulullah bersabda, “sesungguhnya Allah menggutus untuk umat ini setiap awal seratus tahun orang yang akan memperbarui agamanya.”
Perjalanan sejarah garakan pembaharuan mengalami pasang surut terkadang meningkat dan terkadang menurun. Kebanyakan pembaru tertipu oleh usahanya sendiri dengan menganggap bahwa merekalah yang paling berjasa dalam dinamika pemikiran manusia. Ini sama sekali tidak benar. Sebab kehancuran dan pembaharuan pemikiran akan silih berganti dalam masalah keduniaan, keagamaan maupun perilaku. Apa yang dibangun oleh para ulama tidak akan tegak selama mereka mengagumi usahanya sendiri dan tidak mau melakukan ijtihad secara berkesinambungan. Akibatnya, urusan mereka rusak dan dihancurkan oleh Allah.
Banyak fatwa para ulama salaf saat ini sudah ketinggalan zaman. Ini terjadi bukan karena mereka tidak mampu memecahkan masalah zamannya. Mereka justru mampu memecahkan masalah yang terjadi di masa itu. Misalnya, gerakan Mu’tazilah muncul untuk menghadapi pemikiran rasional yang menyerang akidah Islam. Oleh karena itu, gerakan ini menggunakan pendekatan rasional sehingga berkembang dan mampu memenuhi kebutuhan sat itu dan berhasil dengan gemilang menyelesaikan persoalan yang menjadi tantangan zaman tak lagi membutuhkan pendekatan rasional dalam menjelaskan akidah Islam, tetapi lebih membutuhkan pendekatan yang menyeimbangkan antara akal dengan wahyu. Akibatnya, gerakan pemikiran mu’tazilahpun menggalami kemunduran dan bahkan mendapat cap yang tidak baik dari karena salah dalam periode sejarah tertentu.
Dengan demikiran, harus ada pembaharuan pemikiran teologi di setiap zaman untuk menghadapi berbagai bentuk kemusyrikan yang muncul.kemusyrikan ekonomi muncul ketika manusia menjadikan kehidupan dia sebagai kesenangan duniawi semata dan bukan sarana untuk bersyukur atas nikmat Allah dan mengabdi npada tujuan agama. Para nabi diutus untuk menjelaskan makna tauhid dalam konteks memerangi kemusyrikan. Nabi Syu’aib menghadapi masalah kemusyrikan ekonomi. Nabi Musa menghadapi kemusyrikan politik fir’aun dan kemusyrikan ekonomi Qorun. Pemikiran teologis harus mengalami pembaharuan guna mengatasi bentuk tantangan baru agar kita dapat beribadah kepada Allah dalam bentuk ibadah yang relevan dengan kebutuhan zaman dan tempat.[2]

2.      Tauhid Sosial

Agama apapun dimuka bumi sekarang ini dihadapkan pada tantangan-tantangan yang namanya relevansi sosial. Kalau ada satu agama kehilangan relevansi sosial, maka pelan-pelan agama itu akan pudar. Mengapa agama katolik didunia barat sekarang memudar, tidak bersinar kembali? Karena para pengikutnya mengucapkan goodbye, selamat tinggal, kepada gereja. Mengapa  hal ini terjadi? Karena gereja tidak bisa menurunkan resep-resep dari agama katolik itu sendiri untuk memecahkan masalah-masalah social kontemporermasyarakat barat.
Di Amerika latin, yang namanya feodalisme dan kesenjangan kehidupan ekonomi sangat tajam. Ada lapisan tuan tanah, land lord, lapisan orang kaya, konglomerat, yang hidup ditengah sebagian rakyat yang hidup dibawah garis kemiskinan. Sehingga, agama katolik seolah-olah ada disebuah pulau sementara kenyataan sosial ekonomi itu ada di sebelah pulau yang lain lagi. Dengan demikian, tidak gathuk , tidak ada konektisitas, relevansinya.
Hal ini sama saja dengan agama Islam yang kita cintai ini. Jika agama Islam ini tidak kita bela dengan cara menurunkan norma-norma atau (ajaran-ajaran) islam ke dalam dataran social yang kongkret, nanti ada sedikit kecemasan bahwa masyarakat kemudian merasa tidak terlalu membutuhkan Islam. Karena Islam hanya ada pada dataran teologi yang mengawang-awang, kurang down to earth, turun ke bumi. Ini terjadi kalau dimensi social tauhid tidak kita benahi secara sebaik-baiknya.
Dan jangan lupa bahwa transformasi sosial mula-mula pasti dimulai dari tranformasi intelektual. Masyarakat itu bergerak karena ada ide-ide yang menggerakkan didepan, ada yang menjadi lokomotif, ada yang mencari jalan. Jadi, tauhid social tidak perlu dimasyarakatkan dalam arti komunitas kaum muslim yang luas. Itu terlalu jauh.tetapi lebih bagus dimulai di halaqah-halaqah akademis, lembaga-lembaga training, yang ada ditanah air kita ini supaya ada kesadaran sosial yang tajam dikalangan masyarakat Islam Indonesia.[3]

3.      Agama Kritis

Seperti dalam sosiologi, agama selain berfungsi legitimatif, juga berfungsi control secara kritis. Jika agama mampu independen dari stuktur yang mungkin menjeratnya. Perlu kita sadari bahwa dalam setiap faset perkembangan social, kemungkinan lahirnya struktur  yang menjebak agama itu tetap ada, kendati mulanya agama menjadi pemrakarsa perubahan itu sendiri.
Sejalan dengan hal tersebut, agama seharusnya selalu berani tampil dalam setiap keadaan, bukan saja untuk menunjukkan hal-hal yang ma’ruf (positif) tetapi jaga hal-hal yang munkar (teologi negtif). Mekanisme kritis agama terhadap perubahan, dalam agama Islam sangat ditekankan.
Alam tradisi Islam teologi negative sebenarnya berarti harus mempertanyakan dan menunjukkan hal-hal yang tidak benar, dan bahkan itu sesuatu yang sifatnya sentral. Pengakuan keislaman melalui pengucapan syahadat pada dasarnya dimulai pernyatan ‘negatif’, dengan menafikan semua dewa yang bukan tuhan dalam tradisi monoteisme sejati.
Agama tetap dapat menumbuhkan mekanisme kritis dalam dinamika agama itu sendiri, baik melalui ijtihad sebagai metode intelektual dalam memahami pesan agama, ataupun secara langsung jika agama di harapakkan perannya untuk menyelesaikan problematik masyarakat yang actual. Itu berarti agama harus selalu berani memberikan kriteria moral pada setiap keadaan. Dengan menunjukkan mana keadaan yang diridhai oleh Allah Swt dan mana yang tidak.[4]

4.      Tafsir Ayat Tranformatif

Di dalam al-Quran banyak sekali ayat-ayat yang menyiratkan teori transformatif, dalam kesempatan ini saya akan membahas surat al-ashr sebagai contoh ayat tranformatif.

ÎŽóÇyèø9$#ur ÇÊÈ   ¨bÎ) z`»|¡SM}$# Å"s9 AŽô£äz ÇËÈ   žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# (#öq|¹#uqs?ur Èd,ysø9$$Î/ (#öq|¹#uqs?ur ÎŽö9¢Á9$$Î/ ÇÌÈ 
“Demi (kecepatan) waktu. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman (mempunyai impian dan keyakinan) dan beramal sholeh, saling menasehati (belajar mengajar) untuk menaati kebenaran, dan saling menasehati supaya menetapi kesabaran (kegigihan).”[5]
                                                                                                              
                        Meskipun surat ini tergolong surat yang paling pendek, hanya terdiri dari tiga ayat, tapi isi yang dikandungnya sangat luar biasa, bahkan Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata,
لَوْ تَدَبَّرَ النَّاسُ هَذِهِ السُّوْرَةَ لَوَسَعَتْهُمْ
”Seandainya setiap manusia merenungkan surat ini, niscaya hal itu akan mencukupi untuk mereka.” [Tafsir Ibnu Katsir 8/499].
Surat ini mengajarkan pada kita, bahwa dalam melakukan transformasi sosial, kita harus memenuhi empat unsur : 1.yakin (iman), 2. Merealisasikan iman tersebut dalam tindakan, 3. Berdakwah mengajak orang lain untuk melaksanakan kebenaran, 4. Bersabar dalam menjalankan kebenaran itu. Jika keempat unsur ini terpenuhi, maka islam tidak akan berkembang sebatas dalam membentuk kesalehan individual, namun kesalehan sosial pun akan benar-benar terealisasikan dalam masyarakat.


IV.      Kesimpulan

Ø Tiga kelemahan pemikiran islam Pertama, pemikiran Islam lambat laun tercerabut dari prinsip-prinsip agama (Ushul al-din) yang kekal. Kedua, pemikiran Islam terpisah dari ilmu pengetahuan rasional (al-ma’arif al-aqliyyah). Ketiga, pemikiran Islam tidak mampu menyesuaikan diri dengan realitas kehidupan manusia dan hanya menjadi pemikiran semat.
Ø  Transformasi sosial seyogyanya pasti dimulai dari tranformasi intelektual. Masyarakat itu bergerak karena ada ide-ide yang menggerakkan didepan, ada yang menjadi lokomotif, ada yang mencari jalan. Jadi, tauhid social tidak perlu dimasyarakatkan dalam arti komunitas kaum muslim yang luas. Itu terlalu jauh.tetapi lebih bagus dimulai di halaqah-halaqah akademis, lembaga-lembaga training, yang ada ditanah air kita ini supaya ada kesadaran sosial yang tajam dikalangan masyarakat Islam Indonesia.
Ø  Agama seharusnya selalu berani tampil dalam setiap keadaan, bukan saja untuk menunjukkan hal-hal yang ma’ruf (positif) tetapi jaga hal-hal yang munkar (teologi negtif). Mekanisme kritis agama terhadap perubahan, dalam agama Islam sangat ditekankan
Ø  Dalam melakukan transformasi sosial, kita harus memenuhi empat unsur : 1. Yakin (iman), 2. Merealisasikan iman tersebut dalam tindakan sosial, 3. Berdakwah mengajak orang lain untuk melaksanakan kebenaran, 4. Bersabar dalam menjalankan kebenaran itu.

V.          Penutup

Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.



DAFTAR PUSTAKA

Hasan al-Turabi, Fiqih Demokratis,terj, , 2003, Bandung : Arasy
Amien Rais, Tauhid Sosial, 1998, Bandung : Mizan
Moeslim Abdurrahman, Islam Tranformatif, 1995, Jakarta : Pustaka Firdaus
Sofiyan Hadi, Lc., MA., Menjadi Sukses Semuda Mungkin, 2013, Kudus:Brilian Media Utama


[1] Hasan al-Turabi, Fiqih Demokratis,terj, , 2003, Bandung : Arasy, hal. 13
[2]Ibid. Hal. 35
[3] Amien Rais, Tauhid Sosial, 1998, Bandung : Mizan, hal. 116-118
[4] Moeslim Abdurrahman, Islam Tranformatif , 1995, Jakarta : Pustaka Firdaus, hal. 9-10
[5] Sofiyan Hadi, Lc., MA., Menjadi Sukses Semuda Mungkin, 2013, Kudus:Brilian Media Utama, hal. 60

Tidak ada komentar:

Posting Komentar