MUSLIM TRANFORMATIF
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Tafsir Aqidah
Dosen Pengampu : Nur Said, M.A., M.Ag
Disusun Oleh :
Zulfar Rohman : 312024
M. Khoirus Sholihin : 312025
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN USHULUDDIN / TAFSIF HADITS
2013
MUSLIM TRANFORMATIF
I.
Pendahuluan
Agama kita dewasa ini sangat membutuhkan pembaruan
yang tidak hanya berangkat dari spirit emosional saja, tetapi pembaruan yang
sistematis dengan menggunakan sarana yang tepat, yaitu pendidikan agama. Kita
harus mendidik manusia tentang nilai-nilai aqidah yang dapat melahirkan suatu
konsep pemikiran politik, ekonomi, dan budaya yang mampu menerapkan hukum-hukum
agama.
Tapi
kemudian, ketika kita hendak melakukan pembaruan, dalam hal ini pembaruan
pemikiran agama, kita sering dijegal dengan pertanyaan : apakah pemikiran agama
dapat diperbarui?, bukankah agama islam merupakan petunjuk azali yang kekal dan
tidak mengalami perubahan (baku)?. Memang benar demikian, jika kita hanya
melihat islam dari segi esensinya. Karena bagaimanapun, pemikiran islam itu adalah
aktifitas kaum muslim dalam memahami dan mempelajari agama serta merupakan
proses manusiawi yang dapat mengalami perubahan sebagaimana proses lainya,
seperti ketuaan, kerusakan, kelahiran, dan pembaruan.
II.
Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Islam
Transformatif ?
2. Mengapa harus ada
transformasi dalam pemikiran islam ?
3. Bagaimana penjelasan mengenai
Tauhid Sosial ?
4. Sebutkan contoh tafsir ayat
transformatif ?
III.
Pembahasan
1. Transformasi Pemikiran
Islam
Memang benar bahwa agama Islam merupakan petunjuk yang bersifat azali dan
kekal serta tidak mengalami perubahan (baku). Tetapi perlu kita ingat, bahwa
pemikiran islam itu sesungguhnya adalah interaksi antara nalar kaum muslim dan
hukum-hukum agama yang azali dan kekal tersebut. Interaksi tersebut sudah barang
tentu bergantung dengan kualitas dan kuantitas intelelektual dan pengalaman
zamanya. Jika pemikiran kaum muslim itu luas, maka cakrawala pengetahuannya
dalam menginterpretasikan ajaran agama islam pun luas. Begitu sebaliknya.
Selain itu, kondisi zaman yang tidak stagnan, dengan berbagai tantangan yang
berbeda-beda juga berpengaruh dalam pemikiran islam tersebut.[1]
Jika kita perhatikan, dalam menghadapi zaman yang serba modern dengan
berbagai tantangan yang sangat kompleks seperti sekarang ini, pemikiran islam
seolah mengalami gegar. Menurut dr. Hasan al-Turabi, hal tersebut dikarenakan
tiga hal, Pertama, pemikiran Islam lambat laun tercerabut
dari prinsip-prinsip agama (Ushul al-din) yang kekal. Kedua, pemikiran
Islam terpisah dari ilmu pengetahuan rasional (al-ma’arif al-aqliyyah).
Ketiga, pemikiran Islam tidak mampu menyesuaikan diri dengan realitas kehidupan
manusia dan hanya menjadi pemikiran semat.
a.
Tercabut
dari akar
Kelemahan pertama pemikiran Islam adalah
tercerabut dari prinsip-prinsip agama (al-ushul al-syar’iyyah ). Ciri utama
agama adalah bahwa ia bersumber dari wahyu dan bukan produk manusia. Bencana
terbesar dalam agama terjadi ketika ia tertutup oleh produk manusia dan ketika
manusia menutup diri dari dasar-dasar wahyu.
Para ulama mengkaji dasar-dasar wahyu yang
kekal ini guna memberikan penjelasan kepada manusia dan menyesuaikannya dengan
praktik di zaman dan tempat tertentu. Berbagai penjelasan dan praktik agam di zaman
dan tempat itu berbaur dengan agama lantaran disimpulkan dari agama dan
berinteraksin dengan dasar-dasar agama. Kemudian muncul suatu masa ketika para
pemikir mengalami degradasi dalam menjelaskan agama sehingga praktik keagamaan
terputus dari sumber aslinya.
Perhatikanlah para nabi. mereka semua mengajak
manusia untuk beribadah kepada Allah semata. Berulang-ulang Al-Quran mengungkap
ajakan: Beribadahlah kepada Allah dan janganlah engkau menyekutukan-Nya dengan
sesuatu apapun. Setiap nabi menghadapi tantangan zamannya dan kemudian mengajak
manusia untuk beribadah kepada Allah dengan mengatasi tantangan itu. Di zaman
Nabi Ibrahim manusia beribadah kepada berhala, bulan, dan matahari. Maka,
dakwah Nabi Ibrahim pun melampaui fenomena-fenomena alam yang menyebabkan
manusia tunduk dan menyembahnya. Disini Nabi Ibrahim mengajak manusia untuk
meningkatkan diri dan menyingkap berbagai kelemahan alam agar mereka menyadari
bahwa alam bukanlah sumber tertinggi yang berhak disembah. Dengan demikian,
manusia dapat melampaui alam dan bisa sampai kepada Allah Swt.
Pemikiran Islam tidak boleh beku oleh sikap
taklid dan salafisme atau salafiyah yang merasa puas dengan segala warisan
pemikiran lama dan tidak mau merumuskan kebijakan serta petunjuk melalui
perjalanan sejarah Islam tentang bagaimana kaum Muslim menerapkan
pemikiran-pemikiran ini. Jika orang menyebut-nyebut pemikiran islam (mufakkir),
mereka selalu membedakannya dari ahli fiqih Islam (faqih). Ahli fiqih Islam
dianggap konsisten dengan prinsip-prinsip agama, sementara pemikir Islam
digambarkan sebagai orang yang mengikuti hawa nafsu. Ketika kita mengkritik
gambaran seperti ini. Yang sebenarnya kita kritik adalah orang-orang yang sama
sekali tidak memperhatikan Al-Quran dan Sunah Nabi serta berpikir tentang Islam
tanpa merujuknya. Pembaruan semestinya mengacu kepada prinsip-prinsip agama.
b.
Terpisah dari ilmu pengetahuan rasional
Berbagai bencana merundung fiqih Islam dan
menjauhkannya dari prinsip-prinsip akidah dan syariah yang ada dalam Al-Quran
dan sunah Nabi. Sebagaiana diketahui, pemikiran Islam adalah hasil dari
interaksi antara nalar dan pengetahuan rasional kita dengan nilai-nilai agama
yang azali. Jika nalar dan pengetahuan kita sempit, interaksi ini menjadi lemah
dan fiqih Islam pun menjadi lemah.
Memang, Dario sisi sumber, ada perdedaan antara
ilmu agama dan ilmu alam. Ilmu agama bersumber dari para rasul yang berdasarkan
wahyu, sementara ilmu alam bersumber dari rasio yang berdasarkan observasi,
kontemplasi, dan eksperimentasi.
Hokum-hukum alam sebenarnya merupakan sesuatu
yang disepakati oleh manusia. Oleh karena itu, manusia tidak membutuhkan rasul
untuk mengetahui ilmunya. Para rasul diutus untuk memutuskan sesuatun yang
diperselisihkan oleh manusia. Ini dapat dipahami dari kasus yang terjadi di zaman
Rasulullah Saw. Pada suatu hari, beliau memerintahkan orang-orang agar tak
melakukan penyilangan kurma. Orng-orang mengira bahwa perintah ini termasuk
dalam urusan agama yang harus mereka taati sehingga mereka pun melaksanakannya.
Akibatnya, kurma mereka menghasilkan buah yang tidak baik. Lalu mereka
mengadukannya kepada Rasulullah. Beliau pun menjawab,”kalian lebih mengetahui
urusan dunia kalian. Jika aku memerintahkanmu tentang persoalan agam, taatilah
aku.” Disini, Rasullah Saw. Membatasi ilmu agama pada masa masalah hubungan
manusia dengan Allah. Inilah prinsip agama yang kita kembalikan kepada
Rasulullah, sementara persoalan menanam, membajak, dan memerangi hama adalah
persoalan ilmu duniawi atau ilmu rasional yang kita kembalikan kepada
pengalaman manusia, baik yang kafir maupun yang muslim, sesuai dengan kualitas
ilmunya.
Ilmu agama dan ilmu alam harus saling menopang,
sebab keduanya merupakan sarana ibadah kepada Allah. Ayat-ayat Al-Quran seperti: dan
persiapkanlah untuk mereka kekuatan semampumu (QS Al-Anfal [8]: 60) dapat
dipahami secara lebih luas. Makna kekuatan dalam ayat ini dapat
diinterpretasikan seluas pengetahuan ilmu alam manusia. Dengan demikian,
hokum-hukum syariah menjadi luas dan dapat diterapkan sesuai dengan realitas
dewasa ini.
c.
Tidak
Mampu Menyesuaikan Diri Dengan Realitas
Metodologi pemikiran agama yang benar adalah
metodologi realitas. Oleh karena itu, Al-Quran tidak tersusun bab demi bab dan
tidak diturunkan sekaligus tetapi secara bertahap sesuai dengan berbnagai
peristiwa yang terjadi secara faktual. Ketika muncul suatu kasus dan orang
segera mengambil berbagai macam sikap, lalu bersiap menerima keputusan Allah,
turunlah hokum Allah secara tegas dan jelas. Demikian pula halnya dengan sunah
Nabi. Rasulullah Saw. Jarang sekali berkhutbah twentang ajaran Islam secara
teoretis dihadapan manusia. Akan tetapi, beliau mengajarkan kepada mereka
tentang berbagai realitas, peristiwa, dan kasus.
Seorang khatib berkhutbah tanpa menghayati
masalah yang menyentuh realitasnya. Ia mengajak bertakwa kepada Allah, tetapi
tidak menjelaskan cara bertakwa kepada Allah dalam realitas yang dihadapi
manusia dewasa ini. Seharusnya, sang khatib memusatkan khutbahnya pada
persoalan cara bertakwa kepada Allah sesuai dengan tantangan realitas yang
dihadapi pendengarnya. Jika ia berkhutbah di hadapan para pekerja, misalnya,
hendaknya ia menjelaskan cara berinteraksi yang benar dengan kawan atau pemilik
pabrik sebagai manifestasi ibadah kepada Allah. Dewasa ini, telah muncul
sektor-sektor yang belum tercakup dalam fiqih islam, sehingga ketika para
pengguasa negara meminta fatwa agama dari para ahli fiqih, mereka tidak
memperoleh solusi yang memuaskan. Di sini tampak sekali kelemahan fiqih islam.
Tugas kita paling besar dewasa ini bukan lagi
berperang dan mencari legimitasi perang untuk membela Islam atau menyalahkan
orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Sebab, Akidah Islam sudah kukuh dan
gerakannya pun sudah kuat sesudah berinteraksi dengan aliran-aliran lain.
Namun, kewajiban kita sekarang adalah menjelaskan Islam sebagai pedoman
teologis dan etis. Oleh karena itu, dalam bab ini saya akan menjelaskan masalah krusial yang sedang kita
hadapi, yakni pembaharuan pemikiran
Islam.
Mekanisme pembaharuan Islam sebelum Rasulullah
Saw. Dilakukan dengan cara pengutusan para nabi yang dating silih berganti.
Seorang nabi membenarkan nabi yang datang sebelumnya dan mengembangkan
syariatnya agar tetap sesuai dengan perkembangan zaman. Namun, sesudah rasul
terakhir di utus dan syariat Islam telah mapan, masalah pembaharuan diserahkan
kepad para ulama dan seluruh kaum Muslim yang telah di angkat oleh Allah
sebagai khalifah di muka bumi untuk menegakkan agama Islam. Akan tetapi,
kemudian muncul pemikiran bahwa masalah pembaharuan agama hanya diserahkan
kepada individu tertentu yang disebut sebagai Imam Mahdi jika benar ataun
Dajjal jika berdusta. Sebenarnya, pembaharuan agama menjadi tanggung jawab
seluruh kaum muslim karena mereka diangkat Allah sebagai khalifah di muka bumi
sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran dan Hadits Nabi. Dalam Al-Quran, Allah
berfirman: kemudian kami jadikan kalian pengganti-pengganti (mereka) diatas
bumi sesuadah mereka agar kami memperhatikan bagaimana kalian berbuat (QS yunus
[10]: 14). Kemudian, Rasulullah bersabda, “sesungguhnya Allah menggutus untuk
umat ini setiap awal seratus tahun orang yang akan memperbarui agamanya.”
Perjalanan sejarah garakan pembaharuan
mengalami pasang surut terkadang meningkat dan terkadang menurun. Kebanyakan
pembaru tertipu oleh usahanya sendiri dengan menganggap bahwa merekalah yang
paling berjasa dalam dinamika pemikiran manusia. Ini sama sekali tidak benar.
Sebab kehancuran dan pembaharuan pemikiran akan silih berganti dalam masalah
keduniaan, keagamaan maupun perilaku. Apa yang dibangun oleh para ulama tidak
akan tegak selama mereka mengagumi usahanya sendiri dan tidak mau melakukan
ijtihad secara berkesinambungan. Akibatnya, urusan mereka rusak dan dihancurkan
oleh Allah.
Banyak fatwa para ulama salaf saat ini sudah
ketinggalan zaman. Ini terjadi bukan karena mereka tidak mampu memecahkan
masalah zamannya. Mereka justru mampu memecahkan masalah yang terjadi di masa
itu. Misalnya, gerakan Mu’tazilah muncul untuk menghadapi pemikiran rasional
yang menyerang akidah Islam. Oleh karena itu, gerakan ini menggunakan pendekatan
rasional sehingga berkembang dan mampu memenuhi kebutuhan sat itu dan berhasil
dengan gemilang menyelesaikan persoalan yang menjadi tantangan zaman tak lagi
membutuhkan pendekatan rasional dalam menjelaskan akidah Islam, tetapi lebih
membutuhkan pendekatan yang menyeimbangkan antara akal dengan wahyu. Akibatnya,
gerakan pemikiran mu’tazilahpun menggalami kemunduran dan bahkan mendapat cap
yang tidak baik dari karena salah dalam periode sejarah tertentu.
Dengan demikiran, harus ada pembaharuan pemikiran
teologi di setiap zaman untuk menghadapi berbagai bentuk kemusyrikan yang
muncul.kemusyrikan ekonomi muncul ketika manusia menjadikan kehidupan dia
sebagai kesenangan duniawi semata dan bukan sarana untuk bersyukur atas nikmat
Allah dan mengabdi npada tujuan agama. Para nabi diutus untuk menjelaskan makna
tauhid dalam konteks memerangi kemusyrikan. Nabi Syu’aib menghadapi masalah
kemusyrikan ekonomi. Nabi Musa menghadapi kemusyrikan politik fir’aun dan
kemusyrikan ekonomi Qorun. Pemikiran teologis harus mengalami pembaharuan guna
mengatasi bentuk tantangan baru agar kita dapat beribadah kepada Allah dalam
bentuk ibadah yang relevan dengan kebutuhan zaman dan tempat.[2]
2.
Tauhid
Sosial
Agama apapun dimuka bumi sekarang ini
dihadapkan pada tantangan-tantangan yang namanya relevansi sosial. Kalau ada
satu agama kehilangan relevansi sosial, maka pelan-pelan agama itu akan pudar.
Mengapa agama katolik didunia barat sekarang memudar, tidak bersinar kembali?
Karena para pengikutnya mengucapkan goodbye, selamat tinggal, kepada gereja.
Mengapa hal ini terjadi? Karena gereja
tidak bisa menurunkan resep-resep dari agama katolik itu sendiri untuk
memecahkan masalah-masalah social kontemporermasyarakat barat.
Di Amerika latin, yang namanya feodalisme dan
kesenjangan kehidupan ekonomi sangat tajam. Ada lapisan tuan tanah, land lord,
lapisan orang kaya, konglomerat, yang hidup ditengah sebagian rakyat yang hidup
dibawah garis kemiskinan. Sehingga, agama katolik seolah-olah ada disebuah
pulau sementara kenyataan sosial ekonomi itu ada di sebelah pulau yang lain
lagi. Dengan demikian, tidak gathuk , tidak ada konektisitas, relevansinya.
Hal ini sama saja dengan agama Islam yang kita
cintai ini. Jika agama Islam ini tidak kita bela dengan cara menurunkan
norma-norma atau (ajaran-ajaran) islam ke dalam dataran social yang kongkret,
nanti ada sedikit kecemasan bahwa masyarakat kemudian merasa tidak terlalu
membutuhkan Islam. Karena Islam hanya ada pada dataran teologi yang
mengawang-awang, kurang down to earth, turun ke bumi. Ini terjadi kalau dimensi
social tauhid tidak kita benahi secara sebaik-baiknya.
Dan jangan lupa bahwa transformasi sosial
mula-mula pasti dimulai dari tranformasi intelektual. Masyarakat itu bergerak
karena ada ide-ide yang menggerakkan didepan, ada yang menjadi lokomotif, ada
yang mencari jalan. Jadi, tauhid social tidak perlu dimasyarakatkan dalam arti
komunitas kaum muslim yang luas. Itu terlalu jauh.tetapi lebih bagus dimulai di
halaqah-halaqah akademis, lembaga-lembaga training, yang ada ditanah air kita
ini supaya ada kesadaran sosial yang tajam dikalangan masyarakat Islam
Indonesia.[3]
3.
Agama Kritis
Seperti dalam sosiologi, agama selain berfungsi
legitimatif, juga berfungsi control secara kritis. Jika agama mampu independen
dari stuktur yang mungkin menjeratnya. Perlu kita sadari bahwa dalam setiap
faset perkembangan social, kemungkinan lahirnya struktur yang menjebak agama itu tetap ada, kendati
mulanya agama menjadi pemrakarsa perubahan itu sendiri.
Sejalan dengan hal tersebut, agama seharusnya
selalu berani tampil dalam setiap keadaan, bukan saja untuk menunjukkan hal-hal
yang ma’ruf (positif) tetapi jaga hal-hal yang munkar (teologi negtif).
Mekanisme kritis agama terhadap perubahan, dalam agama Islam sangat ditekankan.
Alam tradisi Islam teologi negative sebenarnya
berarti harus mempertanyakan dan menunjukkan hal-hal yang tidak benar, dan
bahkan itu sesuatu yang sifatnya sentral. Pengakuan keislaman melalui
pengucapan syahadat pada dasarnya dimulai pernyatan ‘negatif’, dengan menafikan
semua dewa yang bukan tuhan dalam tradisi monoteisme sejati.
Agama tetap dapat menumbuhkan mekanisme kritis
dalam dinamika agama itu sendiri, baik melalui ijtihad sebagai metode
intelektual dalam memahami pesan agama, ataupun secara langsung jika agama di
harapakkan perannya untuk menyelesaikan problematik masyarakat yang actual. Itu
berarti agama harus selalu berani memberikan kriteria moral pada setiap
keadaan. Dengan menunjukkan mana keadaan yang diridhai oleh Allah Swt dan mana
yang tidak.[4]
4. Tafsir Ayat Tranformatif
Di dalam al-Quran banyak sekali ayat-ayat yang menyiratkan teori
transformatif, dalam kesempatan ini saya akan membahas surat al-ashr sebagai
contoh ayat tranformatif.
ÎóÇyèø9$#ur ÇÊÈ ¨bÎ) z`»|¡SM}$#
Å"s9 Aô£äz
ÇËÈ wÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä
(#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# (#öq|¹#uqs?ur Èd,ysø9$$Î/ (#öq|¹#uqs?ur Îö9¢Á9$$Î/ ÇÌÈ
“Demi (kecepatan) waktu. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam
kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman (mempunyai impian dan keyakinan) dan
beramal sholeh, saling menasehati (belajar mengajar) untuk menaati kebenaran,
dan saling menasehati supaya menetapi kesabaran (kegigihan).”[5]
Meskipun surat ini
tergolong surat yang paling pendek, hanya terdiri dari tiga ayat, tapi isi yang
dikandungnya sangat luar biasa, bahkan Imam Asy Syafi’i rahimahullah
berkata,
لَوْ تَدَبَّرَ
النَّاسُ هَذِهِ السُّوْرَةَ لَوَسَعَتْهُمْ
”Seandainya setiap manusia merenungkan surat ini,
niscaya hal itu akan mencukupi untuk mereka.” [Tafsir Ibnu Katsir 8/499].
Surat
ini mengajarkan pada kita, bahwa dalam melakukan transformasi sosial, kita
harus memenuhi empat unsur : 1.yakin (iman), 2. Merealisasikan iman tersebut
dalam tindakan, 3. Berdakwah mengajak orang lain untuk melaksanakan kebenaran,
4. Bersabar dalam menjalankan kebenaran itu. Jika keempat unsur ini terpenuhi,
maka islam tidak akan berkembang sebatas dalam membentuk kesalehan individual,
namun kesalehan sosial pun akan benar-benar terealisasikan dalam masyarakat.
IV.
Kesimpulan
Ø Tiga kelemahan pemikiran islam Pertama,
pemikiran Islam lambat laun tercerabut dari prinsip-prinsip agama (Ushul
al-din) yang kekal. Kedua, pemikiran Islam terpisah dari ilmu pengetahuan
rasional (al-ma’arif al-aqliyyah). Ketiga, pemikiran Islam tidak mampu
menyesuaikan diri dengan realitas kehidupan manusia dan hanya menjadi pemikiran
semat.
Ø Transformasi sosial seyogyanya pasti dimulai dari tranformasi intelektual.
Masyarakat itu bergerak karena ada ide-ide yang menggerakkan didepan, ada yang
menjadi lokomotif, ada yang mencari jalan. Jadi, tauhid social tidak perlu
dimasyarakatkan dalam arti komunitas kaum muslim yang luas. Itu terlalu
jauh.tetapi lebih bagus dimulai di halaqah-halaqah akademis, lembaga-lembaga
training, yang ada ditanah air kita ini supaya ada kesadaran sosial yang tajam
dikalangan masyarakat Islam Indonesia.
Ø Agama seharusnya selalu berani tampil dalam setiap
keadaan, bukan saja untuk menunjukkan hal-hal yang ma’ruf (positif) tetapi jaga
hal-hal yang munkar (teologi negtif). Mekanisme kritis agama terhadap
perubahan, dalam agama Islam sangat ditekankan
Ø Dalam melakukan
transformasi sosial, kita harus memenuhi empat unsur : 1. Yakin (iman), 2.
Merealisasikan iman tersebut dalam tindakan sosial, 3. Berdakwah mengajak orang lain
untuk melaksanakan kebenaran, 4. Bersabar dalam menjalankan kebenaran itu.
V.
Penutup
Demikian yang dapat kami
paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya
masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan
kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan al-Turabi, Fiqih Demokratis,terj, , 2003, Bandung : Arasy
Amien Rais, Tauhid Sosial, 1998, Bandung : Mizan
Moeslim
Abdurrahman, Islam Tranformatif, 1995, Jakarta : Pustaka Firdaus
Sofiyan
Hadi, Lc., MA., Menjadi Sukses Semuda Mungkin, 2013, Kudus:Brilian Media
Utama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar