Sabtu, 29 November 2014

TAFSIR CORAK TASAWUF


TAFSIR CORAK TASAWUF

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Madzahib Tafsir
Dosen Pengampu : Hj. Istianah,M.Ag









Disusun Oleh :
Muhamad Zulfar Rohman               : 312024
Dzurriyatam Mubarokah                 : 312034
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN USHULUDDIN/ TAFSIR HADITS
TAHUN 2013
TAFSIR CORAK TASAWUF

I.     Pendahuluan
Tafsir sebagai usaha untuk memahami dan menerangkan maksud dan kandungan ayat-ayat suci mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Katakan saja, corak penafsiran alquranadalah hal yang tak dapat dihindari. Adz-Dzahabi menjelaskan, setidaknya corak penafsiran yang dikenal selama ini, antara lain [a] corak sastra bahasa, [b] corak filsafat dan teologi, [c] corak penafsiran ilmiah, [d] corak fiqih atau hukum, dan [e] corak tasawuf. 
Corak-corak tersebut muncul sejak masa afirmatif kelompok-kelompok mufassir. Corak tersebut terus mengalami perkembangan dan tempat pada masing-masing kelompok pendukungnya. Dalam konteks yang demikian, tidak terkecuali adalah tafsir bercorak sufi yang juga turut memberikan kontribusi besar dalam sejarah perkembangan tafsir. Sebagian kelompok ada yang sangat gigih mendukung kebenaran otoritas yang dimiliki oleh para sufi dalam menafsirkan Alquran dan memandang tafsir sufi sebagai tafsir yang inklusif dibanding dengan tafsir lainnya, namun ada pula sebagai kelompok yang mengecam pola penafsiran yang dilakukan oleh kaum sufi.

II.  Rumusan Masalah
Bagaimana pengertian tasawuf ?
Bagaimana deskripsi tafsir yang bercorak sufi ?
    
III.             Pembahasan
1.    Pengertian Tasawuf
Memahami tafsir sufisme secara definitif, maka hemat penulis, perlu terlebih dahulu untuk memahami makna sufisme itu sendiri. Sufi (dengan imbuhan isme) adalah kelompok masyarakat yang menjalankan aktifitas tasawuf. Secara definitif etimologis, kata tasawuf mengandung banyak makna yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut didasari dari perbedaan tinjauan akar kata tasawuf itu sendiri. Ada yang menyebut tasawuf berasal dari kata Shuffah yang berarti emperan masjid Nabawi yang dijadikan sebagai tempat kaum Muhajirin. Ada juga yang berpendapat bahwa kata tasawuf berasal dari shafâ, yang berarti bersih atau jernih. Namun yang paling banyak dianut oleh para ahli, kata tasawuf berasal dari Shûf, yang berarti bulu domba. Selanjutnya orang yang berpakaian bulu domba disebut mutashawwif, dan perilakunya disebut tasawuf.[1]

Sedangkan secara terminologis, kata tasawuf dijelaskan pula oleh Muhammad Amin al-Kurdy, bahwa yang dimaksud dengan tasawuf adalah:

التصوف هو علم يعرف به احوال النفس محمودها ومذمومها وكيفية تطهيرها من المذموم منها وتحليتها بالاتصاف بمحمودها وكيفية السلوك والسير الى الله تعالى والفرار اليه

“Tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui segala macam perangai jiwa, kebaikan dan keburukannya, dan cara membersihkannya dari (sifat-sifat) yang buruk dan mengisinya dengan (sifat-sifat) terpuji, cara melakukan suluk (tahap-tahap perjalanan spiritual) dan cara melangkah menuju (keridlaan) Allah serta meninggalkan (larangan-Nya) menuju kepada (perintah)-Nya”.[2]
Menurut Adz-Dzahabi, perilaku tasawuf tersebut, sudah ada sejak masa Nabi dan para sahabat. Beberapa sahabat pada waktu itu cenderung meninggalkan kenikmatan duniawi. Mereka lebih senang hidup dalam keadaan zuhud, bersungguh dalam ibadah, bahkan ada dari mereka yang malamnya diisi dengan qiyâm al-lail sedangkan siangnya diisi dengan berpuasa sebagai bagian dari riyâdlah bâtiniyah. Akan tetapi, pada saat itu belumlah ada istilah tasawuf dan orang yang menjalankannya disebut dengan sufi. Istilah tersebut baru muncul pada abad ke dua hijriah yang dikenalkan pertama kali oleh Abu Hasyim ash-Shufi (w. 150 H.). Dengan demikian perilaku tasawuf merupakan acuan utama dalam tafsir sufisme.

2.    Tafsir Corak Sufi
Mengenai tafsir sufistik, secara umum, tafsir ini dimaknai dengan takwil ayat-ayat Alquran dengan menggunakan ‘makna’ di balik yang zahir dengan mengemukakan isyarat yang halus atau tersembunyi yang tampak dengan atau kepada yang menempuh jalan sulûk dan bentuk riyâdlah lainnya dalam tasawuf, tetapi memungkinkan adanya perpaduan antara yang tersembunyi dan yang dimaksud ayat secara zahir. Dalam definisi yang berbeda, sebagai konteks penyederhanaan, tafsir sufi biasa juga dikenal dengan tafsir yang berusaha menjelaskan makna ayat-ayat Alquran dari sudut esotorik atau berdasarkan isyarat-isyarat tersirat yang tampak oleh seorang sufi dalam suluknya.
Pada dasarnya corak penafsiran sufi ini sudah ada sejak masa Nabi saw., dan Nabi juga memberikan isyarat akan hal itu. Nabi bersabda, “li kull âyah dzahr wa bathn”, setiap ayat memiliki makna zahir dan batin, “Al-qur’ân tahta al-‘arsy lahu dzahr wa bathn yahtâjj al-‘ibâd,” Alquran di bawah Arsy, memiliki makna zahir dan batin yang dibutuhkan (hamba) untuk memahaminya.
Hadis tersebut, walaupun secara kualitas masih menjadi kontroversi, namun dalam fakta empiris yang dilakukan oleh beberapa sahabat jelas bahwa sebagian dari mereka—Umar bin Khattab, Abdullah bin Abbas, dan Ali—pernah memaknai beberapa ayat Alquran tidak sesuai dengan makna zahirnya.

3.    Macam Tafsir Sufi
Dari kalangan tokoh-tokoh tasawuf lahir ulama yang mencurahkan waktunya untuk meneliti, mengkaji, memahami dan mendalami Alquran dengan sudut pandang sesuai dengan teori-teori tasawuf mereka. Teori-teori tersebut semacam mahabbah, muqârabah, wihdah al-wujûd, hulûl, dan lain sebagainya. Mereka menafsirkan Alquran berdasarkan teori-teori yang telah dipegang dalam hidupnya. Namun, pada sisi yang berbeda ada di antara kelompok ahli tasawuf yang lebih pada ranah praktis saja, yaitu cara hidup yang berdasarkan atas hidup sederhana, zuhd, tidak tidur pada malam hari, hidup menyendiri (‘uzlah), menjaga diri dari segala kenikmatan, meemutuskan jiwa dari berbagai macam syahwat dan meleburkan diri dalam taat kepada Allah. Dari dua kelompok ini, maka munculnya istilah tafsir sufi nadzarî dan tafsir sufi isyârî dalam tafsir corak sufistik.
Adz-Dzahabi mendefinisikan tafsir sufi nadzarî sebagai sebuah perangkat tafsir yang dilakukan oleh kelompok teoritis-falsafi dengan berpegang pada ilmu atau teori yang telah dibangunnya. Pemikiran atau teori yang dipegangi sebelumnya tersebut bahkan, dalam banyak tempat, menggeserkan makna Alquran dari maksud dan tujuannya kepada maksud yang diinginkan oleh sang mufassir. Bahkan dengan keras adz-Dzahabi mengatakan, kelompok tasawuf yang demikian ini telah menjadikan filsafat sebagai khadm teori tasawuf mereka dan tidak memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi Alquran.
Tokoh yang dianggap berkompeten dalam bidang ini adalah Muhyiddin Ibn ‘Arabi. Pengakuan yang muncul darinya ialah bahwa ia sebagai kelompok yang berdiri pada kubu tafsir sufi isyarî, namun dari beberapa penafsirannya, dan diperkuat oleh penelitian adz-Dzahabi, maka beliau adalah salah seorang tokoh yang secara representatif mewakili kelompok penafsir sufi nadzarî ini. Dalam beberapa penafsiran yang dilakukan beliau, maka dapat ditemukan indikasi bahwa penafsiran yang dilakukan beliau banyak dipengaruhi teori wihdah al-wujûd. Contohnya dalam QS. Al-Nisa’ ayat satu.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ

“Wahai sekalian manusia! Bertaqwalah kepada Tuhanmu yang menciptakanmu dari satu diri”.

Ibn ‘Arabi mengatakan:
“bertaqwalah kepada Tuhanmu. Jadikan bagian yang zahir dari dirimu sebagai penjagaan bagi Tuhanmu. Dan jadikanlah bagian batinmu –yang adalah Tuhanmu—sebagai penjagaan bagi dirimu, karena perkaranya adalah perkara celaan dan pujian. Maka jadilah kalian pemeliharanya dalam celaan, dan jadikanlah Dia pemelihara kalian dalam pujian, niscaya kalian akan akan menjadi orang-oran yang beradab di seluruh alam”.
Contoh lain mengenai penafsiran Ibn ‘Arabi adalah QS. Al-Syam ayat 9-10,

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”.

Dalam menafsirkan ayat ini, ia berkata:
“penjelasan ayat ini ialah bahwa jiwa itu tidak akan dapat menjadi suci kecuali oleh Tuhannya. Dalam dzat itu ada kemuliaan dan keagungan. Maka barang siapa yang al-haq telah menjadi penglihatannya, pendengarannya, kekuatannya dan bentuk-bentuk yang disaksikannya adalah bentuk penciptaan, maka sucilah jiwa orang tersebut. Jiwanya akan berkembang dan tumbuh dari semua pasangan yang indah, seperti nama-nama Allah itu adalah bagi Allah dan juga makhluk yang telah suci. Jikalau tidak demikian maka tidak benarlah bentuk makhluk yang dimilikinya, baik bentuk zahir maupun bentuk wujudnya. Karena itu sungguh merugilah orang yang mengotori jiwanya, karena tidak mau tahu dengan jiwa itu.
Melihat penafsiran tersebut, maka keterkaitan antara makna zahir dengan makna batin tampak tidak jelas, bahkan terkesan lebih mengunggulkan makna yang berseberangan dengan makna zahir ayat. Selain itu, terlihat sangat jelas bagaimana Ibn ‘Arabi mempromosikan teori wihdah al-wujûd-nya yang dikemas sedemikian rupa dalam bentuk penafsiran untuk menghasilkan sebuah gagasan bahwa teori wihdah al-wujûd tersebut benar-benar bersumber dari Alquran.
Model kedua adalah tafsir isyari. Tafsir sufi Isyari adalah penakwilan ayat-ayat Alquran yang berbeda dengan makna lahirnya sesuai dengan petunjuk khusus yang diterima para tokoh sufisme tetapi di antara kedua makna tersebut dapat dikompromikan.  Dalam konteks ini, seorang mufassir isyari akan menafsirkan ayat Alquran berbeda dengan zahir teks ayat untuk mendapatkan isyarat-isyarat tersembunyi yang dikandung oleh teks, namun tetap memiliki keterkaitan antara makna zahir dan batin sehingga keduanya bisa saling dikompromikan.
Telah penulis singgung sebelumnya, bahwa metode penafsiran isyârî ini telah ada sejak era Alquran diturunkan pertama kalinya. Berdasarkan hadis mursal tersebut, dalam konteks tafsir isyârî ini, seorang mufassir hanya mencoba mengungkap makna-makna batin yang dikandung Alquran selain makna zahir yang jelas dimilikinya. Para ulama dalam menaggapi corak penafsiran yang demikian telah sepakat bahwa tafsir tersebut diakui dan dianggap sebagai tafsir yang tidak keluar dari maksud yang diinginkan Alquran, di mana tafsir demikian, berbeda dengan tafsir nadzarî yang banyak dikecam oleh ulama karena memalingkan makna zahir ayat dengan maksud melegalkan sebuah teori tasawufnya.
Contoh tafsir isyari salah satunya adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Imam An-Naisaburi ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah ayat 67.

وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوا

“dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina."

Dalam tafsirnya, Gharâ’ib Al-Qur’ân wa Gharâ’ib al-Furqân, setelah menjelaskan makna zahir ayat, beliau menyatakan:
“ta’wil penyembelihan sapi betina tersebut adalah isyarat kepada penyembelihan nafsu kebinatangan. Karena dalam penyembelihan itu terdapat kehidupan ruhani, dan itulah yang dinamakan jihad akbar (perjuangan besar). Matilah kalian sebelum mati yang sesu-ngguhnya.
اُقْتُلُوْنِى يَاثِقَاتِي # إِنَّ فِى قَتْلِى حَيَاتِي
(bunuhlah aku wahai kawanku # sungguh, dalam matiku hidupku)
وَحَيَاتى فِى مَمَاتِي # وَمَمَاتِي فِى حَيَاتى
(hidupku ada dalam matiku # matiku ada dalam hidupku)
Matilah dengan kehendak, niscaya engkau akan hidup dengan alam
Perbedaan antara tafsir sufi nadzarî dan isyârî, ialah pertama, tafsir sufi nadzarî dibangun atas dasar ilmu atau teori sebelumnya yang ada dalam seorang sufi yang kemudian menafsirkan Alquran dan dijadikan landasan tasawufnya. Adapun tafsir sufi isyârî bukan didasarkan pada ilmu sebelumnya, tetapi didasarkan oleh ketulusan hati seorang sufi yang mencapai derajat tertentu sehingga tersingkapnya isyarat-isyarat Alquran. Kedua, dalam tafsir sufi nadzarî seorang sufi berpendapat bahwa semua ayat Alquran memiliki makna-makna tertentu dan bukan makna lain dibalik ayat. Adapun dalam tafsir sufi isyarî asumsi dasarnya bahwa ayat-ayat Alquran mempunyai makna lain yang ada dibalik makna zahir.


IV.             Kesimpulan
Corak tafsir sufi yang mempunyai karakteristik khusus, tidak lepas dari epistimogi yang dipakai oleh kaum tasawuf sendiri yaitu epistemologi ‘irfani yang dalam cara kerja epistimologi ini adalah adanya  konsep lahir dan batin. Mereka melihat al-Qur’an sebagai makhluk yang punya segi lahir dan batin. Yang lahir dari al-Qur’an adalah teks al-Qur’an sendiri sedangkan yang batin apa yang ada di balik teks.
Berdasarkan corak dan karakteristik tafsir sufi nazari dan tafsir sufi isyari, tampak keduanya berbeda. Kalau tafsir sufi nazari terlampau menekankan pencarian makna ayat-ayat Al-Qur’an secara batin, dan mengabaikan makna lahir, tafsir sufi isyari justru menggunakan keduanya sebagai langkah-langkah untuk memahami teks dengan baik. Secara kontekstual, tampaknya tafsir sufi isyari (atau tafsir yang menguraikan isyarat-isyarat yang terdapat dalam teks secara lahir dan batin) lebih relevan dan sesuai dengan semangat Al-Qur’an.   

V.  Penutup
Demikian yang dapat kami uraikan dari tafsir bercorak sufi, atas banyaknya kekurangan kami mohon saran dan kritik dari sidang pembaca sekalian.



DAFTAR PUSTAKA
Dzahabi, Muhammad Husain adz-, al-Tafsir wa al-Mufassirn, Juz II, Mesir: Maktabah Wahbah, 2000.
Goldziher, Ignaz, Madzahib al-Tafsir, terj. Saifuddin Zuhri Qudsi, dkk, Yogyakarta: el-Saq Press, 2006.
Mustofa, A., Akhlak Tasawuf, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Rahman, Fatchur, Ikhtisar Mushthalahul Hadis, Bandung: Al-Ma’arif, 1974.
Syukur, HM. Amin,  Menggugat Tasawuf, Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.



[1] M. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf; Sufisme dan Tanggung Jawab Abad 21, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 8-9.
[2] Syaikh ‘Ula’uddin an-Naqsyabandi, Mâ Huwa at-Tasawwuf Mâ Hiya al-Tharîqah an-Naqsyabandiyah, (t.k: t.p, 1988), hal. 194.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar