TAFSIR CORAK TASAWUF
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Madzahib Tafsir
Dosen Pengampu : Hj. Istianah,M.Ag
Disusun Oleh :
Muhamad Zulfar Rohman : 312024
Dzurriyatam Mubarokah : 312034
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN USHULUDDIN/ TAFSIR HADITS
TAHUN 2013
TAFSIR CORAK TASAWUF
I. Pendahuluan
Tafsir sebagai usaha untuk memahami dan menerangkan
maksud dan kandungan ayat-ayat suci mengalami perkembangan yang cukup
bervariasi. Katakan saja, corak penafsiran alquranadalah hal yang tak dapat
dihindari. Adz-Dzahabi menjelaskan, setidaknya corak penafsiran yang dikenal
selama ini, antara lain [a] corak sastra bahasa, [b] corak filsafat dan
teologi, [c] corak penafsiran ilmiah, [d] corak fiqih atau hukum, dan [e] corak
tasawuf.
Corak-corak tersebut muncul sejak masa afirmatif
kelompok-kelompok mufassir. Corak tersebut terus mengalami perkembangan dan
tempat pada masing-masing kelompok pendukungnya. Dalam konteks yang demikian,
tidak terkecuali adalah tafsir bercorak sufi yang juga turut memberikan
kontribusi besar dalam sejarah perkembangan tafsir. Sebagian kelompok ada yang
sangat gigih mendukung kebenaran otoritas yang dimiliki oleh para sufi dalam
menafsirkan Alquran dan memandang tafsir sufi sebagai tafsir yang inklusif
dibanding dengan tafsir lainnya, namun ada pula sebagai kelompok yang mengecam
pola penafsiran yang dilakukan oleh kaum sufi.
II. Rumusan Masalah
Bagaimana pengertian tasawuf ?
Bagaimana deskripsi tafsir yang bercorak sufi ?
1. Pengertian Tasawuf
Memahami tafsir sufisme secara definitif, maka hemat
penulis, perlu terlebih dahulu untuk memahami makna sufisme itu sendiri. Sufi
(dengan imbuhan isme) adalah kelompok masyarakat yang menjalankan aktifitas
tasawuf. Secara definitif etimologis, kata tasawuf mengandung banyak makna yang
berbeda-beda. Perbedaan tersebut didasari dari perbedaan tinjauan akar kata
tasawuf itu sendiri. Ada yang menyebut tasawuf berasal dari kata Shuffah yang
berarti emperan masjid Nabawi yang dijadikan sebagai tempat kaum Muhajirin.
Ada juga yang berpendapat bahwa kata tasawuf berasal dari shafâ, yang
berarti bersih atau jernih. Namun yang paling banyak dianut oleh para ahli,
kata tasawuf berasal dari Shûf, yang berarti bulu domba.
Selanjutnya orang yang berpakaian bulu domba disebut mutashawwif, dan
perilakunya disebut tasawuf.[1]
Sedangkan secara terminologis, kata tasawuf dijelaskan
pula oleh Muhammad Amin al-Kurdy, bahwa yang dimaksud dengan tasawuf adalah:
التصوف هو علم يعرف به احوال النفس
محمودها ومذمومها وكيفية تطهيرها من المذموم منها وتحليتها بالاتصاف بمحمودها
وكيفية السلوك والسير الى الله تعالى والفرار اليه
“Tasawuf adalah
suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui segala macam perangai jiwa, kebaikan
dan keburukannya, dan cara membersihkannya dari (sifat-sifat) yang buruk dan
mengisinya dengan (sifat-sifat) terpuji, cara melakukan suluk (tahap-tahap
perjalanan spiritual) dan cara melangkah menuju (keridlaan) Allah serta
meninggalkan (larangan-Nya) menuju kepada (perintah)-Nya”.[2]
Menurut Adz-Dzahabi, perilaku tasawuf tersebut,
sudah ada sejak masa Nabi dan para sahabat. Beberapa sahabat pada waktu itu
cenderung meninggalkan kenikmatan duniawi. Mereka lebih senang hidup dalam
keadaan zuhud, bersungguh dalam ibadah, bahkan ada dari mereka yang
malamnya diisi dengan qiyâm al-lail sedangkan siangnya diisi dengan
berpuasa sebagai bagian dari riyâdlah bâtiniyah. Akan tetapi, pada
saat itu belumlah ada istilah tasawuf dan orang yang menjalankannya disebut
dengan sufi. Istilah tersebut baru muncul pada abad ke dua hijriah yang
dikenalkan pertama kali oleh Abu Hasyim ash-Shufi (w. 150 H.). Dengan
demikian perilaku tasawuf merupakan acuan utama dalam tafsir sufisme.
2. Tafsir Corak Sufi
Mengenai tafsir sufistik, secara umum, tafsir ini
dimaknai dengan takwil ayat-ayat Alquran dengan menggunakan ‘makna’ di balik
yang zahir dengan mengemukakan isyarat yang halus atau tersembunyi yang tampak
dengan atau kepada yang menempuh jalan sulûk dan bentuk riyâdlah lainnya
dalam tasawuf, tetapi memungkinkan adanya perpaduan antara yang tersembunyi dan
yang dimaksud ayat secara zahir. Dalam definisi yang berbeda, sebagai konteks
penyederhanaan, tafsir sufi biasa juga dikenal dengan tafsir yang berusaha
menjelaskan makna ayat-ayat Alquran dari sudut esotorik atau
berdasarkan isyarat-isyarat tersirat yang tampak oleh seorang sufi dalam
suluknya.
Pada dasarnya corak penafsiran sufi ini sudah ada
sejak masa Nabi saw., dan Nabi juga memberikan isyarat akan hal itu. Nabi
bersabda, “li kull âyah dzahr wa bathn”, setiap ayat memiliki makna zahir
dan batin, “Al-qur’ân tahta al-‘arsy lahu dzahr wa bathn yahtâjj
al-‘ibâd,” Alquran di bawah Arsy, memiliki makna zahir dan batin yang
dibutuhkan (hamba) untuk memahaminya.
Hadis tersebut, walaupun secara kualitas masih menjadi
kontroversi, namun dalam fakta empiris yang dilakukan oleh beberapa sahabat
jelas bahwa sebagian dari mereka—Umar bin Khattab, Abdullah bin Abbas, dan
Ali—pernah memaknai beberapa ayat Alquran tidak sesuai dengan makna zahirnya.
3. Macam Tafsir Sufi
Dari kalangan tokoh-tokoh tasawuf lahir ulama yang
mencurahkan waktunya untuk meneliti, mengkaji, memahami dan mendalami Alquran
dengan sudut pandang sesuai dengan teori-teori tasawuf mereka. Teori-teori
tersebut semacam mahabbah, muqârabah, wihdah al-wujûd,
hulûl, dan lain sebagainya. Mereka menafsirkan Alquran berdasarkan
teori-teori yang telah dipegang dalam hidupnya. Namun, pada sisi yang berbeda
ada di antara kelompok ahli tasawuf yang lebih pada ranah praktis saja,
yaitu cara hidup yang berdasarkan atas hidup sederhana, zuhd,
tidak tidur pada malam hari, hidup menyendiri (‘uzlah), menjaga diri
dari segala kenikmatan, meemutuskan jiwa dari berbagai macam syahwat dan
meleburkan diri dalam taat kepada Allah. Dari dua kelompok ini, maka munculnya
istilah tafsir sufi nadzarî dan tafsir sufi isyârî dalam
tafsir corak sufistik.
Adz-Dzahabi mendefinisikan tafsir sufi nadzarî sebagai
sebuah perangkat tafsir yang dilakukan oleh kelompok teoritis-falsafi dengan
berpegang pada ilmu atau teori yang telah dibangunnya. Pemikiran atau teori
yang dipegangi sebelumnya tersebut bahkan, dalam banyak tempat, menggeserkan
makna Alquran dari maksud dan tujuannya kepada maksud yang diinginkan oleh sang
mufassir. Bahkan dengan keras adz-Dzahabi mengatakan, kelompok tasawuf yang
demikian ini telah menjadikan filsafat sebagai khadm teori
tasawuf mereka dan tidak memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi Alquran.
Tokoh yang dianggap berkompeten dalam bidang ini
adalah Muhyiddin Ibn ‘Arabi. Pengakuan yang muncul darinya ialah bahwa ia
sebagai kelompok yang berdiri pada kubu tafsir sufi isyarî, namun
dari beberapa penafsirannya, dan diperkuat oleh penelitian adz-Dzahabi, maka
beliau adalah salah seorang tokoh yang secara representatif mewakili kelompok
penafsir sufi nadzarî ini. Dalam beberapa penafsiran yang
dilakukan beliau, maka dapat ditemukan indikasi bahwa penafsiran yang dilakukan
beliau banyak dipengaruhi teori wihdah al-wujûd. Contohnya
dalam QS. Al-Nisa’ ayat satu.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي
خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ
“Wahai sekalian manusia! Bertaqwalah kepada Tuhanmu yang menciptakanmu dari satu diri”.
Ibn ‘Arabi mengatakan:
“bertaqwalah
kepada Tuhanmu. Jadikan bagian yang zahir dari dirimu sebagai penjagaan bagi
Tuhanmu. Dan jadikanlah bagian batinmu –yang adalah Tuhanmu—sebagai penjagaan
bagi dirimu, karena perkaranya adalah perkara celaan dan pujian. Maka jadilah
kalian pemeliharanya dalam celaan, dan jadikanlah Dia pemelihara kalian dalam
pujian, niscaya kalian akan akan menjadi orang-oran yang beradab di seluruh
alam”.
Contoh lain mengenai penafsiran Ibn ‘Arabi adalah QS.
Al-Syam ayat 9-10,
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ
دَسَّاهَا
“Sesungguhnya beruntunglah orang
yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang
mengotorinya”.
Dalam menafsirkan ayat ini, ia berkata:
“penjelasan
ayat ini ialah bahwa jiwa itu tidak akan dapat menjadi suci kecuali oleh
Tuhannya. Dalam dzat itu ada kemuliaan dan keagungan. Maka barang siapa
yang al-haq telah menjadi penglihatannya, pendengarannya,
kekuatannya dan bentuk-bentuk yang disaksikannya adalah bentuk penciptaan, maka
sucilah jiwa orang tersebut. Jiwanya akan berkembang dan tumbuh dari semua
pasangan yang indah, seperti nama-nama Allah itu adalah bagi Allah dan juga makhluk
yang telah suci. Jikalau tidak demikian maka tidak benarlah bentuk makhluk yang
dimilikinya, baik bentuk zahir maupun bentuk wujudnya. Karena itu sungguh
merugilah orang yang mengotori jiwanya, karena tidak mau
tahu dengan jiwa itu.
Melihat penafsiran tersebut, maka keterkaitan antara
makna zahir dengan makna batin tampak tidak jelas, bahkan terkesan lebih
mengunggulkan makna yang berseberangan dengan makna zahir ayat. Selain itu,
terlihat sangat jelas bagaimana Ibn ‘Arabi mempromosikan teori wihdah
al-wujûd-nya yang dikemas sedemikian rupa dalam bentuk penafsiran untuk
menghasilkan sebuah gagasan bahwa teori wihdah al-wujûd tersebut
benar-benar bersumber dari Alquran.
Model kedua adalah tafsir isyari. Tafsir
sufi Isyari adalah penakwilan ayat-ayat Alquran yang berbeda dengan makna
lahirnya sesuai dengan petunjuk khusus yang diterima para tokoh sufisme tetapi
di antara kedua makna tersebut dapat dikompromikan. Dalam konteks ini,
seorang mufassir isyari akan menafsirkan ayat Alquran berbeda
dengan zahir teks ayat untuk mendapatkan isyarat-isyarat tersembunyi yang
dikandung oleh teks, namun tetap memiliki keterkaitan antara makna zahir dan
batin sehingga keduanya bisa saling dikompromikan.
Telah penulis singgung sebelumnya, bahwa metode
penafsiran isyârî ini telah ada sejak era Alquran diturunkan
pertama kalinya. Berdasarkan hadis mursal tersebut, dalam
konteks tafsir isyârî ini, seorang mufassir hanya mencoba
mengungkap makna-makna batin yang dikandung Alquran selain makna zahir yang
jelas dimilikinya. Para ulama dalam menaggapi corak penafsiran yang demikian
telah sepakat bahwa tafsir tersebut diakui dan dianggap sebagai tafsir yang
tidak keluar dari maksud yang diinginkan Alquran, di mana tafsir demikian,
berbeda dengan tafsir nadzarî yang banyak dikecam oleh ulama
karena memalingkan makna zahir ayat dengan maksud melegalkan sebuah teori
tasawufnya.
Contoh tafsir isyari salah satunya
adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Imam An-Naisaburi ketika
menafsirkan QS. Al-Baqarah ayat 67.
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ إِنَّ اللَّهَ
يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوا
“dan (ingatlah), ketika Musa
berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih
seekor sapi betina."
Dalam tafsirnya, Gharâ’ib Al-Qur’ân wa Gharâ’ib al-Furqân, setelah menjelaskan makna zahir ayat, beliau menyatakan:
“ta’wil
penyembelihan sapi betina tersebut adalah isyarat kepada penyembelihan nafsu
kebinatangan. Karena dalam penyembelihan itu terdapat kehidupan ruhani, dan
itulah yang dinamakan jihad akbar (perjuangan besar). Matilah
kalian sebelum mati yang sesu-ngguhnya.
اُقْتُلُوْنِى يَاثِقَاتِي # إِنَّ
فِى قَتْلِى حَيَاتِي
(bunuhlah
aku wahai kawanku # sungguh, dalam matiku hidupku)
وَحَيَاتى فِى مَمَاتِي # وَمَمَاتِي
فِى حَيَاتى
(hidupku
ada dalam matiku # matiku ada dalam hidupku)
Matilah
dengan kehendak, niscaya engkau akan hidup dengan alam
Perbedaan antara tafsir sufi nadzarî dan isyârî, ialah pertama, tafsir
sufi nadzarî dibangun atas dasar ilmu atau teori sebelumnya
yang ada dalam seorang sufi yang kemudian menafsirkan Alquran dan dijadikan
landasan tasawufnya. Adapun tafsir sufi isyârî bukan
didasarkan pada ilmu sebelumnya, tetapi didasarkan oleh ketulusan hati seorang
sufi yang mencapai derajat tertentu sehingga tersingkapnya isyarat-isyarat
Alquran. Kedua, dalam tafsir sufi nadzarî seorang
sufi berpendapat bahwa semua ayat Alquran memiliki makna-makna tertentu dan
bukan makna lain dibalik ayat. Adapun dalam tafsir sufi isyarî asumsi
dasarnya bahwa ayat-ayat Alquran mempunyai makna lain yang ada dibalik makna
zahir.
IV.
Kesimpulan
Corak tafsir sufi yang
mempunyai karakteristik khusus, tidak lepas dari epistimogi yang dipakai oleh
kaum tasawuf sendiri yaitu epistemologi ‘irfani yang dalam cara kerja
epistimologi ini adalah adanya konsep lahir dan batin. Mereka melihat al-Qur’an
sebagai makhluk yang punya segi lahir dan batin. Yang lahir dari al-Qur’an
adalah teks al-Qur’an sendiri sedangkan yang batin apa yang ada di balik teks.
Berdasarkan corak dan
karakteristik tafsir sufi nazari dan tafsir sufi isyari, tampak keduanya
berbeda. Kalau tafsir sufi nazari terlampau menekankan pencarian makna
ayat-ayat Al-Qur’an secara batin, dan mengabaikan makna lahir, tafsir sufi
isyari justru menggunakan keduanya sebagai langkah-langkah untuk memahami teks
dengan baik. Secara kontekstual, tampaknya tafsir sufi isyari (atau tafsir yang
menguraikan isyarat-isyarat yang terdapat dalam teks secara lahir dan batin)
lebih relevan dan sesuai dengan semangat Al-Qur’an.
V. Penutup
Demikian yang dapat kami uraikan dari tafsir bercorak sufi,
atas banyaknya kekurangan kami mohon saran dan kritik dari sidang pembaca
sekalian.
DAFTAR PUSTAKA
Dzahabi, Muhammad Husain adz-, al-Tafsir wa
al-Mufassirn, Juz II, Mesir: Maktabah Wahbah, 2000.
Goldziher, Ignaz, Madzahib al-Tafsir, terj.
Saifuddin Zuhri Qudsi, dkk, Yogyakarta: el-Saq Press, 2006.
Mustofa, A., Akhlak Tasawuf, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997.
Rahman, Fatchur, Ikhtisar Mushthalahul
Hadis, Bandung: Al-Ma’arif, 1974.
Syukur, HM. Amin, Menggugat Tasawuf,
Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar