Minggu, 23 November 2014

Hukum Baiat Pemimpin


Baiat Pemimpin yang Dipilih Pertama

MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Hadis Aqidah
Dosen Pengampu : Ibu Anisa Listiana, M.Ag






Disusun Oleh :

Zulfar Rohman            : 312024


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN USHULUDDIN / TAFSIF HADITS
2013

I.     PENDAHULUAN

Bai’at merupakan perkara yang disyariatkan berdasarkan nash-nash yang terdapat di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Sebab bai’at merupakan salah satu cara dalam menampakkan bentuk ketaatan seseorang terhadap pemimpinnya. Pemahaman yang tidak utuh terhadap bai’at dapat menimbulkan fitnah di antara umat Islam. Kita melihat, ada dua kelompok umat ini yang telah bersikap zalim terhadap bai’at. Pertama, ada di antara mereka yang menyalahgunakan bai’at, menjadikan bai’at sebagai upaya mensucikan diri sendiri dan mengkafirkan orang lain yang belum berbai’at dengan pemimpinnya. Kedua, ada pula di antara umat Islam yang sama sekali anti bai’at, bahkan sangat alergi dan ketakutan dengan istilah ini. Keduanya sama-sama keliru, tidak seimbang dan keluar dari manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Disamping itu, akhir-akhir ini juga muncul masalah bai’ah yang dilakukan oleh sekelompok orang yang di dalamnya sudah ada bai’ah, atau bisa disebut bai’ah kedua. Masalah itu sebenarnya sudah disinggung oleh nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dalam sebuah hadis shohih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Untuk keterangan lebih lengkap, akan dibahas dalam makalah ini.

II.  RUMUSAN MASALAH

Pada makalah ini penulis  memaparkan tiga rumusan masalah yaitu :
1. Apa pengertian bai’at itu ?
2. Bagaimanakah hukum bai’at ?
3. Bagaimana hukum dari bai’ah kedua, manakah yang wajibditaati, , bai’ah pertama atau kedua ?

III.             PEMBAHASAN

A.  Hadis Tentang Bai’at Pertama

حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ فُرَاتٍ الْقَزَّازِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا حَازِمٍ قَالَ قَاعَدْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ خَمْسَ سِنِينَ فَسَمِعْتُهُ يُحَدِّثُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
“Telah bercerita kepadaku Muhammad bin Basysyar telah bercerita kepada kami Muhammad bin Ja'far telah bercerita kepada kami Syu'bah dari Furat Al Qazaz berkata, aku mendengar Abu Hazim berkata; "Aku hidup mendampingi Abu Hurairah radhiyallahu’anhu selama lima tahun dan aku mendengar dia bercerita dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang bersabda: "Dahulu Bani Israil selalu diurus oleh para Nabi. Setiap kali seorang Nabi meninggal, Nabi lain menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada lagi Nabi setelahku, namun akan ada para khalifah yang banyak jumlahnya. Mereka ( para sahabat ) berkata: “Apa yang Engkau perintahkan kepada kami?” Beliau bersabda: “Penuhilah baiat pertama, berikanlah hak mereka, karena sesungguhnya Allah akan menanyai mereka terhadap apa yang telah Dia amanahkan kepada mereka untuk diurusi" .(Shahih Bukhori no. 3455).
B.   Pengertian Bai’at
1.    Menurut Bahasa
Kata “ Bai’at “ berasal dari bahasa Arab البيعُ ضدّ الشراء والبَيْع الشراء أَيضاً ( al-bai’,menjual lawan dari membeli).[1] Namun dalam Munjid disebutkan التولية و عقده  bahwa “Bai’at“ berarti menjadikan wali ( pemimpin ) dan ikatan terhadapnya.[2]
2.    Menurut Syariat
Imam Ibnu Khaldun berkata: “Ketahuilah bahwasanya bai’at adalah berjanji dalam ketaatan, seakan seorang yang berbai’at tidak akan menentang sedikitpun serta akan selalu mentaatinya dalam semua perkara yang dibebankan baik dalam keadaan giat maupun malas. Dan mereka ketika ber-bai’at kepada seorang pemimpin serta mengokohkan ikatan janjinya meletakkan tangan mereka dalam tangannya sebagai penguat atas janji mereka, yang demikian itu sama dengan perilaku penjual dan pembeli, maka disebutkan bai’at yang merupakan bentuk masdar dari baa’a, sehingga proses bai’at akhirnya selalu dilakukan dengan berjabat tangan. Inilah landasan bai’at dalam dalam konteks bahasa dan syari’at sebagaimana yang dimaksudkan dalam hadits bai’at. Lafadz ini juga tampak dalam beberapa riwayat di antaranya bai’atul Khulafa (pembaiatan para pengganti Rasulullah) dan Aimaanul Bai’ah (sumpah setia bai’at) seakan-akan para pengganti Rasulullah bersumpah setia dalam janji dan mereka memahami bahwasanya sumpah setia seluruhnya hanyalah untuk baiat itu, pemahaman inilah yang akhirnya dikenal dengan sebutan Aimaanul Bai’ah.[3]
C.   Hukum  Bai’at
Tidak ragu lagi bai’at memiliki masyru’iyah (pensyariatan) yang kuat di dalam Islam. Bai’at merupakan salah satu proses penting dari pengangkatan seorang pemimpin di dalam Islam, baik kepemimpinan kubra (Khalifah) atau sughra (selain khalifah). Hal ini di tunjukkan oleh berbagai dalil sebagai berikut. Allah Subhanahu wata'ala berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهِ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
Artinya :  “Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, Maka Barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan Barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar”. (QS. Al Fath : 10)
Rasulullah Shallalalhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
Artinya : “Barangsiapa yang mati dan dilehernya tidak ada bai’at maka dia mati dalam keadaan jahiliyah.”[4]
Hadits ini menunjukkan kewajiban berbai’at jika telah ada imamatuluzhma yakni khalifah bagi seluruh umat Islam, bukan amir sebuah jamaah yang umat Islam secara umum tidak mengenalnya.
D.  Hukum Bai’at Kedua
Dalam hadis dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari diatas, dijelaskan bahwa setelah nabi yang terakhir yaitu Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam wafat, akan ada banyak khalifah/pemimpin. Kemudian para sahabat pun bertanya kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, bagaimana menyikapi hal itu (pemimpin yang banyak), nabi pun menjawab pertanyaan para sahabat tersebut dengan sebuah perintah untuk memenuhi baiat yang pertama saja.
Dalam kitab syarah shohih bukhari karya Ibnu Hajar al-Asqolani dijelaskan bahwa apabila telah ada bai’at kepada seorang khalifah, kemudian ada bai’at lagi, maka bai’at yang pertama sah, sedang yang kedua batal. Bahkan menurut Imam Nawawi, bai’at yang kedua itu tidak sah, meskipun yang membai’at adalah orang-orang alim sekalipun[5]
Sebagai perbandingan, saya menghadirkan hadis tentang bai’at pertama yang diriwayatkan oleh Abu Abdullah Muhammad dalam kitabnya Sunan Ibnu Majah berikut :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ عَنْ حَسَنِ بْنِ فُرَاتٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ تَسُوسُهُمْ أَنْبِيَاؤُهُمْ كُلَّمَا ذَهَبَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَأَنَّهُ لَيْسَ كَائِنٌ بَعْدِي نَبِيٌّ فِيكُمْ قَالُوا فَمَا يَكُونُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ تَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُوا قَالُوا فَكَيْفَ نَصْنَعُ قَالَ أَوْفُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَدُّوا الَّذِي عَلَيْكُمْ فَسَيَسْأَلُهُمْ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَنْ الَّذِي عَلَيْهِمْ
“Telah menceritakan kepada kami abu bakar bin abu syaibah, telah menceritakan kepada kami abdullah bin idris dari hasan bin furat dari ayahnya dari abu hazim dari abu hurairah, ia berkata rasullullah shallallahu alaihi wasallam bersabda : sesungguhnya orang-orang bani israil telah dipimpin oleh nabi-nabi mereka. Setiap seorang nabi meninggal dunia, maka pasti ada seorang nabi yang menggantikanyadan sesungguhnya tidak ada nabi lagi setelah diriku. Mereka bertanya : “ apa yang akan terjadi wahai rasullallah ?, rasul menjawab :’akan ada banyak pemimipin’. Mereka bertanya lagi : ‘maka apa yang harus kami perbuat’, rasullullah shallallahu alaihi wasallam bersabda : ‘laksanakan bai’at yang ada, satu persatu, laksanakan sesuatu yang menjadi kewajiban kalian. Dan Allah akan mempertanyakan sesuatu yang menjadi kewajiban mereka”.
Perbedaan kedua hadis tentang bai’at pertama yang saya hadirkan diatas tidak terlalu banyak, keduanya hampir sama persis. Bedanya hanya terletak pada perawi yang meriwayatkan hadis tersebut. Sedang secara matan, keduanya bermakna sama, hanya ada sedikit perbedaan redaksi.
IV.    PENUTUP

Demikianlah pembahasan tentang bai’at pemimpin yang dipilih pertama yang dapat saya paparkan. Semoga bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi kawan-kawan sekalian. Mohon maaf jika makalah ini jauh dari kata sempurna. Saran dan kritik yang membangun demi melengkapi makalah ini sangat kami harapkan.

V.      DAFTAR PUSTAKA

Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, juz. 8, al-Maktabah asy-Syamilah.
Louis Ma’luf al-Yassu’i, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’la,
Imam Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Maktabah Syamilah
Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz. 9, al-Maktabah asy-Syamilah.


[1] Lisan al-Arab, juz. 8, hal. 23, al-Maktabah asy-Syamilah.
[2] Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam hal.57
[3] Imam Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Maktabah Syamilah, hal. 229
[4]. Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz. 9, Hal. 393, No. 3441. al-Maktabah asy-Syamilah.

[5] Ibnu Hajar al-Asqolani, Fathul Baari, Maktabah Asy-Syamilah, Jilid 10, hal. 255

Tidak ada komentar:

Posting Komentar