Kamis, 27 November 2014

MEMAHAMI HUKUM DENGAN MAFHUM MUKHOLAFAH


MEMAHAMI HUKUM
DENGAN
MAFHUM MUKHOLAFAH

Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Ushul Fiqh
Dosen Pengampu : Hj. Istianah, MA


















Disusun oleh :
Kelompok IX

Tachfiful Makmun                   : 309033
M. Zulfarrohman           : 312024
Alif Fahrurriza               : 312044
 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN USHULUDDIN
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIST
TAHUN AKADEMIK 2013/2014

MEMAHAMI HUKUM
DENGAN
MAFHUM MUKHOLAFAH

A.    Pendahuluan
Objek ushul fiqih adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan metodologi yang dipergunakan oleh ahli fiqih dalam menggali hukum syara’ sehingga ia tidak keluar dari jalur yang benar. Ilmu ushul fiqih selalu mengembalikan dalil-dalil hukum syara’ kepada Allah swt. karena pada dasarnya yang berhak menetapkan hukum-hukum syara’ hanyalah Allah swt. sedangkan dalil-dalil yang ada hanyalah berfungsi sebagai sarana untuk mengetahui hukum-hukum Allah Al-Qur’an-lah yang menyatakan hukum-hukum Allah terhadap manusia, sementara hadist berfungsi sebagai penjelasan Al-Qur’an. Karena Rasulullah saw. tidak mengucapkan sesuatu menurut kemauan hawa nafsunya.
Penunjukan lafadz kepada makna adakalanya berdasarkan pada bunyi perkataan yang diucapkan itu, baik secara tegas maupun berdasarkan kemungkinan makna lain. Adakalanya juga berdasarkan dengan mafhum (arti tersirat atau apa yang dipahami) dari kata itu. Baik hukumnya sesuai dengan bunyi ayat ataupun bertentangan.[1]
B.     Rumusan Masalah
1.      Definisi Mafhum Mukholafah dan Pembagiannya
2.      Syarat dan Kehujjahan Mafhum Mukholafah
C.     Pembahasan
I.            Definisi Mafhum Mukholafah dan Pembagiannya
Secara etimologi pengertian al-mafhum adalah : sebuah ibarat dari kumpulan beberapa sifat yang menjelaskan terhadap makna secara keseluruhan. al-mafhum itu sendiri berasal dari kata "fahima as-Syaia fahman dari bab fa’ila" mempunyai arti : sebuah gambaran yang sangat bagus Sedangkan secara terminilogi makna al-mafhum adalah : lafadz yang menunjukkan terhadap sesuatu diluar pembicaraan (fi ghairi mahalli an-nutqi), dan menjadi sebuah hukum terhadap yang telah ditetapkan.
Sedangkan Mafhum Mukholafah mempunyai arti “Pengertian yang difahami berbeda dari pada ucapan, baik dalam menetapkan ataupun meniadakan” oleh sebab itu hal yang difahami selalu kebalikannya dari bunyi lafadz yang diucapkan. Seperti contoh
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) šÏŠqçR Ío4qn=¢Á=Ï9 `ÏB ÏQöqtƒ ÏpyèßJàfø9$# (#öqyèó$$sù 4n<Î) ̍ø.ÏŒ «!$# (#râsŒur yìøt7ø9$# 4 öNä3Ï9ºsŒ ׎öyz öNä3©9 bÎ) óOçGYä. tbqßJn=÷ès? ÇÒÈ  
9. Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.[2] yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
dapat dipahami dari ayat ini bahwa boleh melakukan transaksi jual beli pada hari Jumat sebelum Mu’adzin adzan dan sesudah sholat jumat.
Mafhum Mukholafah ini terbagi menjadi 5 macam:
1.    Mafhum dengan sifat. seperti firman Allah
ã@Í´¯»n=ymur ãNà6ͬ!$oYö/r& tûïÉ©9$# ô`ÏB öNà6Î7»n=ô¹r&
 (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu);
Mafhum Mukolafahnya bahwa selain anak kandung boleh dinikah seperti anak seorang anak (ibnu al ibn) karena sesusuan.
2.    Mafhum dengan Ghoyah (Maxim) seperti firman Allah
bÎ*sù $ygs)¯=sÛ Ÿxsù @ÏtrB ¼ã&s! .`ÏB ß÷èt/ 4Ó®Lym yxÅ3Ys? %¹`÷ry ¼çnuŽöxî 3 bÎ*sù $ygs)¯=sÛ Ÿxsù yy$uZã_ !$yJÍköŽn=tæ br& !$yèy_#uŽtItƒ bÎ) !$¨Zsß br& $yJŠÉ)ムyŠrßãn «!$# 3 y7ù=Ï?ur ߊrßãn «!$# $pkß]ÍhŠu;ム5Qöqs)Ï9 tbqßJn=ôètƒ ÇËÌÉÈ  
230. kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.
Mafhum Mukholafahnya seorang istri boleh menikah dengan laki-laki lain jika ia ditalak tiga oleh suaminya
3.    Mafhum dengan Syarat seperti firman Allah
£`èdqãZÅ3ór& ô`ÏB ß]øym OçGYs3y `ÏiB öNä.Ï÷`ãr Ÿwur £`èdr!$ŸÒè? (#qà)ÍhŠŸÒçGÏ9 £`ÍköŽn=tã 4 bÎ)ur £`ä. ÏM»s9'ré& 9@÷Hxq (#qà)ÏÿRr'sù £`ÍköŽn=tã 4Ó®Lym z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq 4 ÷bÎ*sù z`÷è|Êör& ö/ä3s9 £`èdqè?$t«sù £`èduqã_é& ( (#rãÏJs?ù&ur /ä3uZ÷t/ 7$rã÷èoÿÏ3 ( bÎ)ur ÷Län÷Ž| $yès? ßìÅÊ÷ŽäI|¡sù ÿ¼ã&s! 3t÷zé& ÇÏÈ  
6. tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
Mafhum Mukholafahnya suami tidak memberi nafkah pada istrinya yang ditalak ketika sang istri tidak hamil
4.    Mafhum dengan Bilangan (‘adad) seprti firman Allah

tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ ÏM»oY|ÁósßJø9$# §NèO óOs9 (#qè?ù'tƒ Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà­ óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_ Ÿwur (#qè=t7ø)s? öNçlm; ¸oy»pky­ #Yt/r& 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÍÈ  
4. dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik[3] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik
Mafhum Mukholafahnya mereka tidak boleh didera kurang atau lebih dari delapan puluh
5.    Mafhum dengan Hasr (batasan) seperti Firman Allah
x$­ƒÎ) ßç7÷ètR y$­ƒÎ)ur ÚúüÏètGó¡nS ÇÎÈ  
5. hanya Engkaulah yang Kami sembah[4], dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan[5].
Mafhum Mukholafahnya selain Allah tidak disembah dan tidak dimintai pertolongan[6]
II.            Syarat dan Kehujjahan Mafhum Mukholafah
Mafhum Mukholafah menurut A. Hanafie dalam bukunya Ushul Fiqhi memerlukan 4 syarat agar ia bisa dijadikan hujjah
1.      Mafhum Mukholafah tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat baik berupa dalil manthuq atau Mafhum Muwafaqoh
Contoh yang berlawanan dengan dalil Manthuq
Ÿwur (#þqè=çGø)s? öNä.y»s9÷rr& spuô±yz 9,»n=øBÎ) ( ß`øtªU öNßgè%ãötR ö/ä.$­ƒÎ)ur 4 ¨bÎ) öNßgn=÷Fs% tb%Ÿ2 $\«ôÜÅz #ZŽÎ6x. ÇÌÊÈ  
31. dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.
Mafhum Mukholafahnya jika tidak takut kemiskinan maka boleh membunuh anak-anak, tetapi Mafhum Mukholafah ini bertentangan demgan dalil Manthuq yang berbunyi
Ÿwur (#qè=çFø)s? }§øÿ¨Z9$# ÓÉL©9$# tP§ym ª!$# žwÎ) Èd,ysø9$$Î/ 3 `tBur Ÿ@ÏFè% $YBqè=ôàtB ôs)sù $uZù=yèy_ ¾ÏmÍhÏ9uqÏ9 $YZ»sÜù=ß Ÿxsù ̍ó¡ç Îpû È@÷Fs)ø9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. #YqÝÁZtB ÇÌÌÈ  
33. dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar[7]. dan Barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan[8] kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.
Contoh yang berlawanan dengan dalil Mafhum Muwafaqoh
* 4Ó|Ós%ur y7/u žwr& (#ÿrßç7÷ès? HwÎ) çn$­ƒÎ) Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $·Z»|¡ômÎ) 4 $¨BÎ) £`tóè=ö7tƒ x8yYÏã uŽy9Å6ø9$# !$yJèdßtnr& ÷rr& $yJèdŸxÏ. Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJƒÌŸ2 ÇËÌÈ    
23. dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia.
Dalam ayat diatas yang disebutkan hanya kata-kata kasar, Mafhum Mukholafahnya boleh memukul. Akan tetapi Mafhum ini bertentangan dengan Mafhum Muwafaqohnya, yaitu tidak boleh memukul
2.      Teks yang disebut bukan hal yang biasanya (umum) terjadi
ãNà6ç6Í´¯»t/uur ÓÉL»©9$# Îû Nà2Íqàfãm
anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri,
Ayat ini tidak bisa dipahami bahwa anak yang tidak dalam pemeliharaan boleh dinikah, kata Pemeliharaanmu disebutkan sebab pada umumnya anak tiri dipelihara oleh ayah tiri karena mengikuti ibunya
3.      Teks yang disebutkan tidak bertujuan menguatkan suatu keadaan
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده
Artinya: Orang islam adalah orang yang tidak mengganggu oarng-orang islam lainnya baik dengan lisan maupun tangannya
Tidak bisa dipahami bahwa selain orang islam boleh diganggu, sebab perkataan tersebut dimaksudkan alangkah pentingnya hidup rukun dan damai diantara orang-orang islam sendiri
4.      Teks harus berdiri sendiri tidak mengikuti kepada yang lain
Ÿwur  ÆèdrçŽÅ³»t7è? óOçFRr&ur tbqàÿÅ3»tã Îû ÏÉf»|¡yJø9$# 3 y7ù=Ï? ߊrßãn «!$# Ÿxsù $ydqç/tø)s? 3 y7Ï9ºxx. ÚúÎiüt6ムª!$# ¾ÏmÏG»tƒ#uä Ĩ$¨Y=Ï9 óOßg¯=yès9 šcqà)­Gtƒ ÇÊÑÐÈ  
187. janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.
Tidak bisa dipahami boleh mencampuri istri dimasjid jika tidak sedang I’tikaf, karena dalam ayat ini memiliki dua aturan. Aturan tang pertama adalah boleh mencampuri istri dan yang kedua adalah I’tikaf yang harus dilakukan di Masjid.[9]
Masalah berhujjah dengan Mafhum Muwafaqoh lebih ringan, karena para ulama telah sepakat boleh berhujjah dengan Mafhum Muwafaqoh, kecuali penganut Madzhab Zhohiri. Sedangkan berhujjah dengan Mafhum Mukholafah hanya diakui oleh Imam Malik, As Syafi;I dan Imam Ahmad, sementara Abu Hanifah dan pengikutnya menolak.
Golongan yang mengakui Mafhum Mukholafah sebagai hujjah mengajukan sejumlah argument baik Aqli maupun Naqli. diantara dalil Naqlinya ialah.
1)        Riwayat yang menyatakan bahwa ketika diturunkan ayat: Kamu mohonkan ampun bagi mereka ataupun tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka sampai tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak memberi ampun bagi mereka” (At Taubah; 80) Nabi berkata “Tuhanku telah memberikan pilihan padaku, demi Allah aku akan menambah permohonan ampun itu lebih dari tujuh puluh.”. Nabi memahami bahwa jumlah yang lebih tujuh puluh kali itu berbeda dengan jumlah tujuh puluh kali.
2)        Pendapat Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa warisan saudara perempuan terhalang ketika ada anak perempuan, berdasarkan pada ayat; ” Jika seseorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudara perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkan” (An Nisa; 176). Dari ketentuan ayat tentang warisan saudara perempuan ketika tidak ada anak ini, Ibnu Abbas memahami bahwa warisan itu terhalang ketika ada anak perempuan, sebab anak perempuan pun adalah anak juga
3)        Riwayat bahwa Ya’la bin Umayyah berkata kepada Umar; “Mengapa kita mengqoshor sholat? padahal ita dalam suasana aman, dan Allah juga berfirman Tidaklah mengapa kamu mengqoshor sholat jika kamu takut (An Nisa; 101). Sisi hujjah riwayat ini ialah, bahwa Ya’la memahami ayat tersebut, kebolehan mengqoshor sholat itu hanya dalam keadaan takut, bahwa dalam kondisi aman tidak boleh mengqoshor sholat. Umar tidak menyalahkan Ya’la bahkan ia berkata, “Saya juga merasa heran sepertimu, lalu saya tanyakan hal itu pada nabi, dan beliau menjawab; itu adalah sedekah yang diberikan Allah kepadamu, maka terimalah sedekah itu.
Sedangkan dalil Aqlinya antara lain ialah. Andaikata kedudukan hukum orang fasik sama dengan orang yang tidak fasik, dalam firmanNya; “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti” (Al Hujurot; 6) yang kedua-duanya (Fasik atau tidak Fasik) wajib diteliti beritanya tentulah pengungkapan orang fasik secara khusus pada ayat ini tidak berguna.[10]
D.    Kesimpulan
Secara etimologi pengertian al-mafhum adalah : sebuah ibarat dari kumpulan beberapa sifat yang menjelaskan terhadap makna secara keseluruhan. al-mafhum itu sendiri berasal dari kata "fahima as-Syaia fahman dari bab fa’ila" mempunyai arti : sebuah gambaran yang sangat bagus Sedangkan secara terminilogi makna al-mafhum adalah : lafadz yang menunjukkan terhadap sesuatu diluar pembicaraan (fi ghairi mahalli an-nutqi), dan menjadi sebuah hukum terhadap yang telah ditetapkan. Mafhum Mukholafah ini terbagi menjadi 5 macam. Mafhum dengan sifat, syarat, ghoyah, adad dan hasr.
Mafhum Mukholafah menurut A. Hanafie dalam bukunya Ushul Fighi memerlukan 4 syarat agar ia bisa dijadikan hujjah. Mafhum Mukholafah tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat baik berupa dalil manthuq atau Mafhum Muwafaqoh, Teks yang disebut bukan hal yang biasanya (umum) terjadi, Teks yang disebutkan tidak bertujuan menguatkan suatu keadaan, Teks harus berdiri sendiri tidak mengikuti kepada yang lain.



Referensi
Karim, Syafi’I Ushul Fiqh Pustaka setia Bandung
Khollaf, Abdul Wahab Kaedah-Kaedah Hukum Islam RajaGrafindo Jakarta
Al Qoththon, Mnna Pengantar Studi Ilmu Al Quran


[1] Manna Al Qoththin Pengantar studi alquran Hal. 311
[2] Maksudnya: apabila imam telah naik mimbar dan muazzin telah azan di hari Jum'at, Maka kaum muslimin wajib bersegera memenuhi panggilan muazzin itu dan meninggalakan semua pekerjaannya.
[3] Yang dimaksud wanita-wanita yang baik disini adalah wanita-wanita yang Suci, akil balig dan muslimah.
[4] Na'budu diambil dari kata 'ibaadat: kepatuhan dan ketundukkan yang ditimbulkan oleh perasaan terhadap kebesaran Allah, sebagai Tuhan yang disembah, karena berkeyakinan bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadapnya.
[5] Nasta'iin (minta pertolongan), terambil dari kata isti'aanah: mengharapkan bantuan untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan dengan tenaga sendiri.
[6] Abdul Wahab Kholaf Kaedah-kaedah Hukum Islam Hal 249-251
[7] Maksudnya yang dibenarkan oleh syara' seperti qishash membunuh orang murtad, rajam dan sebagainya.
[8] Maksudnya: kekuasaan di sini ialah hal ahli waris yang terbunuh atau Penguasa untuk menuntut qishas atau menerima diat. qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama. qishaash itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat kema'afan dari ahli waris yang terbunuh Yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya. bila ahli waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima diat, Maka terhadapnya di dunia diambil qishaash dan di akhirat Dia mendapat siksa yang pedih. diat ialah pembayaran sejumlah harta karena sesuatu tindak pidana terhadap sesuatu jiwa atau anggota badan.
[9] Syafi’I Karim Ushul Fiqh Hal. 180-183
[10] Syeikh manna Alqoththon Op. Cit. Hal 319-320

Tidak ada komentar:

Posting Komentar